Cerita Seorang Teman

Posted by Han on Saturday, August 7, 2010 | 0 comments

Senin, 27 desember lalu, saya berangkat ke banda aceh untuk liputan buat associated press television news (salah satu media tempat saya menjadi kontributor) ternyata apa yang saya saksikan disana jauh lebih mengenaskan daripada sekedar menyaksikannya lewat layar kaca. Di sini saya bisa berinteraksi langsung dengan korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Dengan yang hidup saya masih bisa berbincang-bincang seadanya (tak etis rasanya saya menanyai mereka panjang lebar karena mereka baru tertimpa bencana, dan saya tahu mungkin mereka belum makan sejak minggu pagi saat bencana itu terjadi). Saya juga bisa merasakan langsung kesedihan yang terpancar dari wajah-wajah kuyu yang kecapaian dan masih trauma itu. Mungkin kalau saya mengerti bahasa aceh kesedihan itu bisa jadi berlipat- lipat. Sedangkan dengan si mati saya bisa melihat langsung kondisi mereka yang sangat mengenaskan, mencium aroma yang konon bisa “melekat” di tubuh anda selama sepekan. Saya mendapat informasi ini dari seorang dokter yang kebetulan sering berurusan dengan mayat.

Dalam kunjungan singkat itu (sekitar 2,5 jam saja, sekitar satu jam saya habiskan dengan terbengong di bandara iskandar muda karena tak adanya alat transportasi ke kota) saya sempat menyaksikan kepanikan luar biasa dari warga kota serambi mekah itu. Beberapa tenda militer didirikan tak jauh dari pintu keluar bandara. Di jalan-jalan warga bersileweran seperti orang ling-lung. Mungkin masih trauma, atau mungkin ada keluarganya yang hilang. Atau malah sudah mati…

Kondisi ini memaksa kendaraan yang melintas untuk berjalan pelan. Waktu biasa sekitar 20 menit dalam perjalan dari bandara ke kantor gubernuran terasa menjadi lebih lama.

Di lambaro saya bersama rombongan (3 dokter dari medan, seorang anggota DPR RI asal Aceh, kadis kesehatan pemprov. NAD, dan 2 jurnalis kantor berita Xinhua Beijing) singgah di lokasi pemakaman massal. Saat tiba disana, areal sekitar 20 m x 15 m itu sedang digali dengan menggunakan excavator. Penggalian belum selesai, 5 kantong berisi mayat teronggok di pinggir lubang raksasa itu. Sekitar 5 menit mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan.

Semakin jauh mendekati kota suasana chaos semakin terasa. Crowd manusia yang kebingungan semakin banyak terlihat. Tak sedikit dari mereka yang membawa buntalan-buntalan besar. Mungkin pakaian, atau harta yang tersisa. Mobil-mobil dan sepeda motor lalu lalang dengan lampu dihidupkan. Sesekali ambulans melintas kencang. Entah membawa korban yang masih hidup, atau mayat yang sudah mulai membengkak. Saya tidak sempat memeriksa.

Sebelumnya saya dengar banyak beredar rumor bakalan terjadi gempa dan tsunami susulan. Berita-berita seperti ini tentu menyesatkan karena bisa saja menimbulkan hal tak diinginkan. Entah siapa yang menghembuskan, yang jelas banyak warga yang menjadi korban. Mungkin karena mereka masih trauma. Sedikit saja terdengar jeritan, “air…” niscaya orang-orang langsung berlarian menyelamatkan diri. Si anggota DPR RI sempat bercerita kalau dia juga sempat menjadi korban. Mendekati bundaran lambaro di aceh besar aura kehancuran dan kematian semakin terasa. Beberapa kali saya melihat mayat teronggok di pinggir jalan. Aroma udara yang terhirup juga mulai tak sedap. Saya menduga pasti ada konsentrasi pengumpulan mayat. Dugaan saya benar. Di sebelah kiri simpang lambaro yang dikenal dengan sebutan bundaran itu, tepatnya di depan kantor PMI teronggok sekitar 700 an mayat dari berbagai tempat di kota Banda Aceh.

Ya tuhan… Saya hampir tak percaya dengan penglihatan sendiri. Selama saya bekerja sebagai jurnalis inilah konsentrasi mayat terbanyak yang saya lihat! Mayat-mayat itu membusuk lebih cepat karena terendam air. Saya sempat terbodoh sebentar, apalagi saat melihat jejeran mayat anak kecil (mungkin berusia 5 tahunan). Ada lagi mayat anggota polisi yang masih berpakaian lengkap. Ada mayat seorang wanita yang biji matanya hampir mencelat. Ada mayat yang mulutnya masih mengeluarkan darah dan buih…

Ah… Saya tidak tahu kenapa saya begitu kuat siang itu. Entah dimana air mata saya. Sebelumnya saya mendengar cerita seorang kameramen Sctv yang menangis sambil mengambil gambar. Ada juga cerita seorang jurnalis lain yang sampai tak sanggup mengambil gambar. Bisa anda bayangkan?

Tapi saya teringat saya tidak punya waktu banyak disitu. Apalagi si pemilik mobil kijang yang kami tumpangi juga sedang tergesa-gesa hendak melanjutkan perjalanan mengantarkan 3 orang dokter yang bersama saya itu. Akhirnya camcorder saya hidupkan dan lensa kamera mulai saya arahkan dengan beberapa variasi shoot. Kamera saya juga sempat merekam seorang bapak yang berusaha mengenali sesosok mayat anak kecil dengan meraba-raba bagian belakang kepalanya. Mungkin dia berharap bisa mengenali si anak dari tanda lahir di belakang kepala itu. Sejenak dia seperti tidak yakin kalau itu putranya. Dia terdiam. Tapi tiba-tiba dia menangis kencang dan terisak. Sayang saya tidak mengerti ucapannya. Mata saya sempat berkaca-kaca…

Sore itu orang-orang hilir mudik berusaha mengenali mayat demi mayat. Sedangkan tentara dan relawan palang merah Indonesia mengangkati mayat ke truk untuk diantarkan ke tempat pemakaman. Truk lain masuk ke lokasi mengantarkan mayat baru. Entah dari mana. Pasokan mayat sepeti tak berhenti. Sinar matahari yang lumayan terik membuat aroma tak sedap semakin menyeruak. Untunglah seorang teman yang terbiasa dengan liputan yang berhubungan dengan orang mati pernah memberikan resep. Saat saya coba ternyata memang mujarab.

“Kalau berada di dekat mayat, bagaimanapun kondisi dan bau nya, jangan sekali-kali membuang ludahmu. Karena itu bisa memancing muntah. Sebaiknya telanlah ludahmu kalau merasa ingin muntah, bagaimanapun mualnya. Mudah-mudahan kau tak akan muntah,” kata si teman.

Teman yang memberikan resep adalah stringer salah satu kantor berita asing di NAD. Ingat dia saya sempat kuatir karena saya belum melihat seorangpun jurnalis yang saya kenal disana. Ada cerita kalau kebanyakan para jurnalis tinggal di daerah dekat pantai. Padahal itulah lokasi yang paling ringsek dihantam tsunami. Saya ngeri membayangkan kalau dia ikut menjadi korban.

Perjalanan lalu berlanjut. Konsentrasi orang semakin banyak. Di sebuah SPBU saya melihat antrian panjang orang. Tak sedikit dari mereka membawa jirigen plastik. Antrian itu semakin tak tertib. Petugas SPBU sepertinya sengaja menjatah karena persediaan tak banyak. Di sebelah kiri dan kanan jalan saya melihat gedung permanen bertingkat yang rubuh karena gempa. Kalau tidak salah, bangunan yang di sebelah kiri gedung keuangan dan yang di sebelah kanan bangunan gedung asuransi. Saya ngeri membayangkan seandainya bencana terjadi pada saat hari kerja. Berapa banyak korban yang bakalan tertimpa?

Oia, si Kadis kesehatan yang menyetir mobil yang kami tumpangi cerita kalau air (bah) sampai ke lokasi yang saya lihat. Padahal jarak bibir pantai dengan tempat tersebut hampir mencapai 15 kilometer. Sebegitu jauh, tapi air sampai kesitu. Tinggi pula lagi. Saya bisa melihat bekas air bercampur lumpur dari tembok-tembok itu…

Sampah-sampah dan kayu-kayu teronggok di pinggir jalan membuat pemandangan semakin kumuh. “Tadi pagi sampah-sampah masih di tengah jalan. Tapi barusan dibersihkan pakai buldoser,” tambah si kadis. Beberapa mayat masih teronggok di pinggir jalan.

Sayang saya tak bisa melihat detail ke seluruh tempat karena duduk terjepit di tengah-tengah mobil. Saya juga tak bisa mengambil gambar dengan posisi seperti itu. Ah, seandainya tadi saya bisa mencarter/ menyewa sebuah sepeda motor untuk berjalan sendiri. Tentu gambar yang saya dapat bisa jauh lebih bagus. Tapi saya ingat juga tak punya waktu lama karena paling tidak mesti mengirimkan kaset untuk segera dikirimkan ke jakarta.

Mobil kami lalu berbelok mengarah ke kantor gubernuran. Si Kadis rupanya hendak bertemu seseorang di sana sehingga tak sempat membawa kami berkeliling lebih jauh. Di pendopo gubernuran sudah banyak warga yang mengungsi. Tempat itu memang jauh lebih manusiawi dibanding tempat-tempat yang saya lihat sebelumnya.

Dalam sekian menit itu saya sempat menimbang-nimbang untuk terus jalan sendirian atau ikut balik ke bandara dengan rombongan Wapres Jusuf Kalla. Tapi tenggat waktu memaksa saya mengambil keputusan cepat. Apalagi cuma ada satu bus yang bisa saya tumpangi untuk kembali ke bandara.

Pertimbangannya, kalau saya tinggal saya mesti mencari sepeda motor untuk dicarter. Jangan berharap ada angkot atau taksi disana. Kalau saya tinggal, saya pasti akan kesusahan mencari penginapan dan makanan. Jangankan untuk saya, warga setempat saja sudah 2 hari tidak makan. Belum lagi saya betul-betul dengan medan banda aceh. Saya pernah ke kota ini hampir 17 tahun lalu. Banyak perubahan bukan ?

Melihat orang-orang mulai menaiki bus yang akan kembali ke bandara naluri saya memaksa untuk ikut. Sempat saya kuatir, bagaimana kalau paspampres memaksa saya untuk turun? Tapi saya teringat deadline untuk mengirimkan kaset hasil rekaman. Tanpa berpikir panjang lagi saya ikut naik ke bus. Di dalam saya melihat Najwa shihab (presenter metro TV), beberapa wartawan dan fotografer lain dan seorang reporter perempuan yang membawa-bawa camcorder berstiker tv7. Belakangan saya tahu kalau dia ternyata Uni Z. Lubis. Perjalanan setengah jam kembali ke bandara ternyata belum berbeda dengan saat saya menuju gubernuran tadi, selain orang-orang semakin banyak dan jalanan semakin padat. Saat melintas dari lokasi pemakaman massal saya sempat melihat kalau pemakaman belum dilakukan. Padahal sore itu rencananya mesti dikuburkan karena mayat bertambah dan yang jelas semakin menebar bau tak sedap. Saya berharap iring-iringan mobil Wapres singgah di situ. Tapi rombongan jalan terus.

Rombongan akhirnya berhenti di hanggar Lanud Iskandar Muda. Rupanya wapres mau melihat pasokan bantuan yang baru tiba dari Medan. Sore itu, 1 pesawat hercules baru saja landing membawa ratusan kardus makanan dan obat-obatan. Prajurit TNI tampak hilir mudik mengangkuti kardus-kardus itu dari lambung pesawat. Tak lama Wapres berangkat naik helikopter untuk meninjau beberapa lokasi yang tak terjangkau lewat jalan darat.

Kesempatan itu lalu saya manfaatkan dengan berbincang-bincang dengan Kapolda NAD Irjen Bachrumsyah. “bencana ini memang sangat mengerikan dik. Saya juga turut menjadi korban. Saya kehilangan kontak dengan banyak saudara-saudara saya. Saya tak bisa berharap banyak. Kalau mereka masih hidup tentu mujizat. Kalaupun sudah tak ada, saya tak bisa berbuat apa-apa,” katanya pada saya.

Polisi berbintang dua dan berkumis lebat itu sepertinya memang sedang depresi ringan. Wajar-wajar saja karena dia mesti berkeliling kesana- kemari. Belum lagi laporan banyak anak buahnya yang hilang. Termasuk sekitar 1 kompi saat mereka mau apel pagi di minggu naas itu.

Kelelahan terpancar dari wajahnya. Celana lapangan yang dikenakannya belepotan lumpur. Sangat jarang saya melihat pemandangan seperti itu. Menyadari itu saya urungkan untuk menanyai hal-hal lain.

Sore menjelang malam itu juga, sekitar pukul 18.30 akhirnya saya jadi terbang ke medan menumpang pesawat pelita air yang disulap menjadi pesawat RI-2. Sebelumnya saya sempat cemas, bagaimana saya mengirimkan kaset saya. Untuk menumpang di pesawat wapres rasanya mustahil karena saya belum diregistrasi.

Sambil mencari akal bagaimana caranya untuk ikut pulang tiba-tiba seorang bapak menegur saya. Saya tidak mengenalnya, selain baju safari coklat yang dikenakannya dan pin kecil di ujung kerahnya. Seingat saya, seluruh anggota pasukan pengamanan presiden/ wakil presiden mengenakan pin tersebut. Tapi, dia terlihat lebih tua dari anggota paspampres lainnya.

“Mau pulang dik?” katanya sambil menepuk pundak saya.

“Iya pak, kalau memang ada seat,” kata saya ragu-ragu.
“Ya udah, kalau mau pulang ikut saja. Jangan berlama-lama lagi. Ayo ikut aja,” katanya ramah.

Mendengar tawaran tersebut saya berbinar dan melangkah pasti ke tangga pesawat. Akhirnya pikiran saya soal bagaimana mengirimkan kaset mendapat jawaban.

Jam 19.00 pesawat meninggalkan Banda Aceh. Saya masih kepingin kembali kesana, mungkin dalam waktu dekat. Rasanya saya ingin menebus kesalahan tidak sempat melakukan reportase lengkap. Selain kaset berdurasi sekitar 20 menit. Sebagai seorang jurnalis ini sebenarnya kesalahan yang tak bisa ditolerir.

Satu pertanyaan terus membayangi saya selama 45 menit di udara, bahkan sampai hari ini saat saya mengetik di sebuah warnet tak jauh dari rumah saya setelah seharian menongkrongi posko bencana di Lanud AURI Medan.

Kenapa pemerintah cenderung lambat menangani bencana ini? Apalagi setelah beberapa pengungsi yang selamat dan pindah ke medan yang curhat mengatakan belum makan dan mendapat air bersih hampir 3 hari belakangan. Jangankan makanan, snack pun hampir tidak ada.

“Kami sampai mesti mengorek-ngorek lumpur siapa tau ada makanan yang terbenam,” kata si pengungsi tadi siang kepada saya. Ucapannya tentu membuat saya terhenyak, apalagi setahu saya pasokan makanan sudah mulai dikirimkan sejak sehari sebelumnya. Buat apa makanan itu sampai kesana kalau tak segera didistribusikan?

Sampai tadi malam pasokan makanan dan obat-obatan masih terus masuk ke posko dan “tertimbun” disitu.

Kenapa semuanya terasa sangat lambat? Sikap pemerintahan Srilangka membuat saya iri. Mereka cepat tanggap walau cuma sebuah negara kecil. Militer dikerahkan untuk mengevakuasi korban. Baik yang masih hidup atau sudah mati. Mereka juga dikerahkan untuk mendistribusikan pasokan bantuan makanan dan obat-obatan. Mereka bisa kenapa kita tidak? Ayo kita bantu mereka yang jadi korban sebisa kita.

Sayang saya tak sempat menanyakannya kepada Mr. President saat beliau megunjungi posko Satkorlak bencana aceh di Lanud AURI Medan Selasa malam tadi.



Lia achmadi
Pt. Radio delta insani
021 - 7278 4033