subscribe to RSS

EBOOK, BOOKS, FREE DDOWNLOAD E-BOOK, DOWNLOAD GRATIS, NOVEL AGATHA CHRISTIE, EBOOKS BISNIS

Pindah Alamat Webblog

Posted by Han on Saturday, October 29, 2011


Alamat blog ini udah dipindahin ke alamat http://story4motivation.blogspot.com/

So, bagi teman2 yg mau ngikutin update-an blog ini, silakan kunjungi http://story4motivation.blogspot.com/

Aku Mencintai Sepasang Kaki

Posted by Han on Monday, August 1, 2011

Bagaimana aku mewujudkan perasaan ini padamu ? Di taman kota, di salah satu sudut bangku yang ada, di dekat rindang pohon cemara menghadap ke sebuah danau buatan kecil yang jernih, ditaburi teratai mekar, pertama kali aku melihatmu di sana. Melia, kudengar beberapa sapaan menegurmu, hingga aku mempercayakan mengenali namamu. Apa yang membuat jiwaku menyalakan getaran-getaran ini, seperti untaian wewangian yang datang perlahan menjalin nuansa tertentu, dalam terasa dan bertahan lama. Hingga detak ini tak terhitung lagi, terungkap untuk apa dan bagaimana hingga menjadi sesuatu yang pasti, rasa. Jiwaku dilanda kasmaran padamu. Melia, bagaimana caranya aku menerbangkan sayapku yang hanya sebelah. Mengenalmu pun begitu jauh, meski elok ayumu ada di pelupuk mataku, selalu. Rajutan-rajutan itu semakin hari kian saja menjadi, tersusun rapi untuk sesuatu yang pasti, dirimu. Melia, apa yang kau lihat padaku yang tertunduk di salah satu bangku yang sepi dan rimbun dalam kerindangan yang mampu menyembunyikan ekor mataku yang berenang mereguk kedalamanmu ? Mungkin tak pernah kau sadari. Sepasang kakimu selalu melangkah di depan bangku ini. menyisakan beberapa tapakan yang mampu membuat jiwaku terkubur di dasarnya, lapuk. Sepasang kaki itu, aku jatuh cinta padamu karenanya. Jika ia tak pernah berlalu dari hadapanku, aku mungkin tak pernah mengenali siapa pemiliknya. Sepertinya Tuhan menghadirkan langkah-langkah itu seperti awan yang berlalu untuk menyapaku tentang hujan. Memperkenalkan dirinya pada serat-serat yang memancar dari tiap kehidupan. Tapi Melia, kenapa ia bisa bertahan begitu lama jika tidak ada sebab musababnya. Terkadang aku ingin menanyakan sesuatu, bagaimana ia bisa melahirkan getaran-getaran yang begitu sempurna. Sungguh, jika aku mampu berteriak merobohkan gunung dan mengeringkan laut, aku ingin mengatakan aku mencintaimu sedalam sentuhan jiwa yang kurasakan dan kau kuras hingga kerontang. Setitik embun pencerahan cinta di matamu akan sanggup menerbangkan aku ke alam surgawi, membius langit hingga terbungkam, mendobrak kesunyian rimba raya dan lautan. Meski wujudmu hanya setitik, kau begitu berharga dalam tarikan nafas ini, Melia. Entah kenapa aku begitu bangga mampu meraih detak yang dihadirkan alam oleh penampakanmu. Aku merasakan puncak cahaya oleh sentuhan terdalam yang hadir melalui wajahmu. Matahari senja ini begitu lelah. Sekuntum melati yang ada digenggamanku mulai layu dan kehilangan wewanginya. Kembang yang telah dipetik tidak mampu bertahan lama. Rasanya lebih indah jika ia tetap berselimut bersama tubuh-tubuhnya yang lain, menyatu tanpa terpisah. Aku mungkin akan tetap menikmatinya di tangkai hingga ia rontok dengan sendirinya. Tak ada kumbang yang mau menyentuhnya dalam keadaan demikian. Melia, benarkah apa yang kuungkapkan ? Taburan matahari mereda menyisakan hawa dingin yang mulai turun. Sudah ada sekian waktu menghilang, sepasang kaki itu tak pernah lagi hadir di keindahan taman kotaku yang kian hari menjadi ramai tapi terasa sepi. Dorongan hatiku mengusik hingga sudutnya yang tersembunyi. Kemana gerangan kau pergi, Melia ? Apakah cahaya cintaku yang tidak pernah terungkap mengusikmu ? sungguh telah kubebaskan perasaan ini untuk memenjarakanmu dengan ungkapan-ungkapan yang romantis dan puitis yang mampu menjebakmu dalam rongga kebisuan yang terdalam. Aku menatap sudut bangku di mana Melia biasa terduduk dengan tawanya yang tersungging bersama seorang pria yang begitu sempurna berada di dekatnya. Melia, alangkah bahagia mampu melihatmu dalam rasa yang selalu didamba oleh tiap-tiap jiwa yang kesepian, sebuah sentuhan cinta kasih yang mampu membuatnya tertawa dan menangis. Perasaan yang mampu menyempurnakan kehidupannya dengan kecemburuan, makian, marah hingga cercaan. Melia, sungguh aku kesepian karena kehilanganmu. Sepasang kaki indah yang biasa hadir di mataku mengukir keindahan tersendiri di satu rongga jiwaku, menghilang, tanpa pernah kukenali, tanpa pernah kuingat lagi, tanpa pernah kuungkapkan perasaan-perasaan ini. Melia, adakah perasaan itu murni ? Kepedihan yang lama akan kepergianmu membuat taman ini terasa hambar. kicauan merpati terasa sumbang terbang menjejaki tubuhku hingga terasa pedih dan lukanya. Kehilangan cintamu, kehilangan dirimu seolah membuat hilang diriku. Menenggelamkanku di sudut kehidupan. Kepedihan, air mata, tawa, sirna bersamamu. Aku tetap mencintaimu hingga aku mati, cinta itu akan tetap hadir bersama leburnya jasadku, ia akan mampu bersemai lagi. Di antara padi, rumput, kembang-kembang, pohon, aku damai dalam cinta. Kuharap masih mampu tumbuh lagi suatu hari di lain kehidupanku. Setiap hari, ditemani langit pelangi aku selalu hadir di taman ini. Suara anak-anak riuh dengan permainannya serasa berkata,

“Wahai bumi yang indah, aku telah mampu merengkuh kalian dengan cinta ayah ibuku. Lihatlah begitu bahagia mereka tertawa bersamaku. Bukankah aku penguasa cinta yang hadir dari sebuah kesepian panjang !” Dan aku akan tersenyum. Suara bocah-bocah itu hanya akan hadir di sini. Terlalu berat aku sanggup untuk membuatnya hadir dari diriku. Menjelmakan diri menjadi jiwa lain yang akan terlalu sulit untuk kuselami. Melia, satu-satunya yang aku sanggup mengerti hanya dirimu. Dengan segenap hatiku yang tersentuh kedalamannya oleh desahan nafasmu, aku memanggilmu, aku datang di sini, menatapi angsa berayun di air yang perak oleh matahari hingga menjadi keemas-emasan. Kulihat hanya jejak-jejakmu. Melia, adakah semua pengetahuan yang aku punya mampu memberikan jawaban atas semua rahasia yang ingin aku pertanyakan ? Di antara ketaatan yang membuatku percaya dengan cahaya Tuhan adakah yang mampu membuatku lebih teguh tanpa sebuah cinta. Kalaupun semuanya yang terukir ini hanya sebuah masa yang harus lepas, ia tak pernah lepas seluruhnya. Ia tetap ada di sini, Melia. Tersembunyi dengan indah dan hanya akan hadir bila embun menitik dan bayou mengalunkan tembang kerinduan. Adakah yang lebih mampu memisahkan cinta ini, Melia ? Di sudut bumi manapun kau tersembunyi, ada patahan sayapmu di sini. Aku hanya orang bisu yang tak mampu berujar dalam nada-nada yang bisa kau pahami. Bahasaku lebih indah melebihi rayuan mesra kekasihmu jika kau mampu membacanya dari jendela mataku yang tak pernah tenggelam dalam dasar kebisuan yang membuatku terdampar di dasar kehidupan tanpa komunikasi. Melia, sebuah kecelakaan yang menimpaku telah membuatku melihat lebih dewasa. Aku menderita untuk pertama kalinya karena aku tak mampu lagi berkomunikasi dengan orang-orang yang aku sayangi. Namun cinta mampu membuat aku bicara, bahwa mataku lebih hidup dari sentuhan terdalam jiwaku yang mendamba. Memberontak dari kesepian-kesepian yang lahir sejak kehadiran jiwa itu di alam. Melia, sanggupkah suaraku yang tak terdengar ini menghidupkanmu, membawamu berlari memelukku di sudut bangku taman kota ini. Melia, sepertinya aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Tuhan mengajarkan cinta kasihnya dari dirimu. yang kian kusadari di antara lembaran-lembaran yang aku kenali, sudut ruangmu tetap terisi hingga kini. Sentuhan terdalam yang diberikannya hadir dari setiap yang nampak di mataku, terdengar di telingaku, terasa di kulitku, hingga kurasa kehadirannya di sini, bersamaku. Ia nyata ada padaku.

“Eyang, Eyang sudah sore, pulang yuk !” rajuk seorang bocah kecil yang adalah cucuku. Matanya indah seperti bola jernih, rambutnya keriting ikal hitam, kulitnya bersih. Aku hanya mampu tersenyum. Dia adalah cucuku. Kuberi nama ia Melia. Seperti menatap kelahiran kembali, kaki-kakinya yang mungil memperagakan tarian yang selalu kuajarkan, Serimpi, centil dan gila. Bocah kecil itu suka berdansa denganku dengan tubuh mungilnya berdiri di atas meja. Kuletakkan bunga layu itu di sudut bangku. Entah di mana kuburmu yang pasti kehilanganmu menitik lagi bagai sentuhan embun pagi yang menghilangkan kehausanku yang panjang. Melia, aku tetap mencintaimu.


Bandar Lampung, Januari 2001
By Dyah Indra Mertawirana

Balon Cinta Okinawa

Posted by Han on Friday, July 29, 2011

Terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini, kata Ohida, lelaki tua janggut putih sambil duduk termenung di atas tikar menghadap meja penghangat. Pandangannya terpusat pada pintu rumahnya yang setengah terbuka. Teh teguk terakhir mencairkan butiran-butiran salju musim dingin yang turun hebat. Senja yang muram. Badai baru saja reda. Diraihnya baju tebal dan ikat penutup kepala. Di beranda Ohida melepas balon.


Pelan-pelan balon itu mengudara. Ohida tidak ingin balon itu tersangkut lagi di pohon Sakura seperti hari kemarin. Matanya yang cekung tak berkedip demi memastikan balon bergambar seorang perempuan dalam warna merah jingga itu terbang mengudara. Ohida berharap balon miliknya tak hanya sampai di Okinawa atau Tsukudajima atau kempes dan jatuh di danau Suwa.

Tiap hari Ohida melepas satu balon. Sebuah surat ditalikan pada ujung penyumbat udara. Tiap hari pula Ohida melukis wajah seorang perempuan. Kadang, di sela kesibukannya mengurus, Tagawa, cucunya paling cerewet dan suka usil, Ohida merancang gambar seribu perempuan yang akan dilukis esok hari. Hari ini perempuan itu mengenakan Kimono merah bara. Dua supit menancap di rambutnya.

Telah ribuan surat kukirim, kata Ohida, tapi aku tak pernah menerima balasan. Di manakah perempuan itu sekarang. Ohida termenung sambil memandangi samurai yang tergantung di dinding. Dia teringat ketika pertama kali cintanya tertancap pada seorang gadis Jawa, Sumirah.

Semula, Ohida tak begitu mencintai Sumirah. Tapi Samurai berbungkus kulit rusa Jawa inilah yang kemudian menggores hatinya. Pagi itu, di bulan Maret 1944, Ohida memimpin satu regu pasukan PETA. Dia ditugaskan menghadang sekutu yang hendak memasuki pinggiran kota Sakagiri.

"Satu jam lagi Sekutu tiba. Hadang dan hancurkan." Komandan Nomihara berdiri tegak. Matanya nanar. Urat nadinya menegang. Marah. Geram

"Haik. Tap. Tap. Tap."

Pasukan berangkat menuju arah matahari senja. Pada kilometer tiga dari pusat kota, dua lemparan tombak ke arah bukit Sakagiri, desingan mortir menghentikan gerak laju pasukan itu.

"Tiarap!" Ohida meloncat ke parit sawah diikuti yang lain. Ada tidak kurang lima kali dentuman dahsyat meluluh lantakkan radius tujuh lompatan kuda dari tempat mereka sembunyi. Tanah muncrat. Asap mengepul. Satu lagi dentuman mortir mematahkan pohon trembesi.

"Bidik senjata ke arah senja. Tahan. Jangan tembak dulu. Tunggu sampai asap menghilang." Setengah berteriak Ohida memberi perintah sambil tiarap seraya menghapus wajahnya yang kuyup terkena muncratan lumpur sawah.

Sebuah mortir meledak lagi. Kali ini tepat di tengah pasukan. Potongan-potongan tubuh melenting ke udara. Darah menyembur. Terdengar erangan sakit, entah siapa, lalu diam. Ohida memandangi tubuh-tubuh pemuda Jawa itu hancur seperti daging cincang. Bersamaan dengan itu dua tentara sekutu mendekat. Peluru diobral. Lima lagi yang bergelimpangan.

"Nippon keparat." Seorang prajurit sekutu menarik pelatuk. Moncong senapan itu mengarah ke Ohida. Dia tak ingat apa-apa lagi kecuali kilatan samurai memantulkan cahaya senja. Dua tubuh ambruk. Tentara Sekutu itu terpenggal lehernya. Sarpan berlobang kepalanya.

***

Salju tipis. Sebuah pintu rumahnya membukakan pemandangan gunung Fuji. Serombongan bangau melintas, O, Gunung Fuji yang tegak tempat para dewa bersemayam. Ohida menatap Fuji dengan pandangan Merapi (di sanalah dia untuk terakhir kalinya menggenggam tangan Sumirah). Dua hari kemudian Ohida sudah berada di atas dek kapal dengan tangan terikat. Mulutnya disumpal kain.

"Kaisar tak ingin Nippon sejati jatuh cinta dengan perempuan tanah jajahan. Tapi kau melakukan juga, Ohida."

Ohida diam. Bungkam. Tak ada alasan membantah komandan seperti juga tak ada alasan untuk menjelaskan budi baik Sarpan yang menyelamatkan nyawanya. Ohida ingin membalas itu dengan cinta.

Dan butir-butir salju menempel di ranting Sakura. Ohida membayangkan pastilah pegunungan Totomi disaput kabut gelap. Ohida lalu mengambil secarik kertas. Dituliskannnya sebaris puisi tentang burung bangau yang terbang lelah lalu jatuh di kawah Merapi. Tubuhnya gosong. Aroma bulunya yang terbakar dihirup para Dewa.

Dengan langkah gontai Ohida beranjak menuju halaman. Satu balon lagi dilepaskannya. Sebuah amplop terbungkus selendang batik kusam itu pelan-pelan lenyap dari pandangan Ohida. Kini Ohida berharap balon itu akan terbang jauh, jauh sekali menyeberangi samudera luas. Ohida tersenyum. Diraihnya samurai itu lalu pelan-pelan dihunusnya. Samurai yang putih bersih seperti salju. Ohida tersenyum. Salju menetes merah bersamaan kilatan samurai menancap di perutnya. Di ujung samudera surat itu dibaca, entah oleh siapa : untuk Sumirah. (***)

Jogja-Solo, Maret 2002
By Sholihul Hadi

Adik Tiriku Sayang

Posted by Han on


Marah, kesal, dan jengkel campur jadi satu dalam perasaanku saat ini. Sejak ayahku menikah lagi dengan janda itu setelah bunda meninggal, aku mendapatkan sebuah kejutan yang benar-benar tidak kuharapkan sebelumnya. Yaitu seorang adik tiri.

"Yok, kenalin ini Hafid," kata ayahku memperkenalkanku dengan anak dari ibu baruku. "Yoyok," jawabku ketus.

"Hafid, apa kabar Mas?" balasnya. Aku diam saa, hanya menganggukkan kepala.

"Kalian kan seumur, gimana kalau nanti kalian daftar perguruan tinggi yang sama. Kan enak bisa berangkat bersama-sama," ujar ibu baruku itu.

"Enak aja, kamu pikir nyatuin dua unsur yang berbeda dan bertolak belakang itu gampang apa?" kataku dalam hati, kesal.

"Wah, itu ide yang bagus Ma. Iya kan Mas?" tanya Hafid.

"Tau ah, lihat aja nanti," balasku sambil meninggalkan mereka.

"Yoyok emang gitu. Jangan dimasukkin ke hati ya Fid," nasihat ayah. Hafid hanya mengangguk.

Tak pernah terpikirkan olehku mendapatkan adik tiri yang umurnya nggak jauh beda denganku. Walaupun tua aku sedikit. Tapi, perasaan takut disaingi dan kehilangan orang yang aku cintai sejak bunda tiada selalu menghantuiku siang dan malam.

"Pagi Mas," sapa Hafid ramah, membubarkan lamunanku.

"Pagi," jawabku sambil meninggalkan dia di ruang santai.

"Tunggu Mas, aku mau ngomong sama Mas," lanjut Hafid.

"Ada apa? Cepetan deh, aku nggak punya waktu banyak," sahutku.

"Aku tahu Mas dari awal udah nggak suka sama aku. Tapi aku berusaha baik sama Mas. Coba pikirin lagi deh Mas, kita pura-pura baik aja demi orang tua kita. Biar nggak nambah beban pikiran mereka. Iya kan?" tanyanya lagi .

"Eh, asal kamu tahu aja ya, aku nggak pernah dan nggak akan pernah mau pura-pura baik sama kamu. Baik di depan orang tua kita ataupun di mana aja. Kamu udah ngerebut segala sesuatu yang aku sayangi. Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu, kamu tuh bencana bagi aku," balasku marah. Aku tahu ada tetesan air mata di pipi adik tiriku itu, tapi aku tak peduli.

Setelah kejadian pagi, itu aku tidak pernah menganggapnya walaupun dia masih tetap bersikap baik padaku. Ya say hallo lah, nawarin aku makan lah, dan selalu bawain aku oleh-oleh setiap dia pergi dengan orang tua kami ataupun sendirian. Di depan ayahku atau tidak.

Aku memang nggak pernah mau jalan bareng sama mereka. Aku pikir akan tambah memalukan bila aku jalan bareng dan bertemu orang-orang yang aku kenal. Mau ditaruh mana mukaku?

Sore itu, sepulang dari rumah temanku, kulaju mobilku dengan kecepatan tinggi. Semua amarah yang setiap hari kupendam kulampiaskan pada jalanan itu. Tiba-tiba… brak!

Mobilku menabrak sesorang yang sedang menyeberang jalan. Spontan aku keluar dari mobilku. Kulihat wajah yang berlumuran darah serta barang-barang yang berserakan bagaikan puing-puing kaca pada peristiwa bom di J.W. Marriot. Wajahnya tak asing bagiku. Ya Tuhan! Wajah itu milik adik tiriku.

Entah perasaan senang atau sedih yang kurasakan sekarang. Aku menabrak adik tiriku sendiri. Pikiran ini terus menghantuiku sepanjang dokter memeriksa adikku. Aku memilih tidak memberitahukan kejadian ini kepada ayah dan ibu tiriku karena aku takut. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?

"Anda saudara korban?" tanya dokter kepadaku.

"Ya, saya saudaranya," jawabku gemetar.

"Saudara Anda kehilangan banyak darah. Sedangkan persediaan darah O rumah sakit ini menipis," jelas dokter tersebut.

"Saya…saya O Dok. Ambil saja darah saya," ujarku, masih gemetar.

"Baik, silakan Anda ikut suster ini untuk tes darah," lanjut dokter.

"Baik Dok," jawabku.

Satu jam kemudian. "Saudara Anda sudah sadar dan dia ingin berbicara dengan Yoyok. Anda Yoyok?" tanya dokter tersebut.

"Saya Yoyok, kakaknya, Dok" jawabku. Tanpa sadar aku mengakui dia sebagai adikku.

"Boleh saya menemuinya Dok?" tanyaku.

"Silakan," jawab dokter itu sambil mempersilakan aku masuk.

"Mas Yoyok," lirih suara adikku.

"Jangan banyak ngomong dulu. Kamu masih lemas, istirahat saja dulu," kataku.

"Mas, makasih ya udah repot-repot nolongin saya. Sampai-sampai Mas mau menyumbangkan darah buat saya. Tadi waktu aku keluar dari mal ada mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menabrakku. Sayang aku tidak melihat orang tersebut karena aku pasti akan memakinya. Aku membawakan buku komputer yang Mas cari kemarin. Aku membelikannya tadi. Pasti sekarang buku itu sudah rusak atau hilang. Mas lihat?" katanya dengan suara lirih.

"Ti..tidak Fid. Mas nggak lihat," jawabku. Ternyata dia tidak tahu kalau akulah yang menabraknya. Ya Tuhan maafkan kesalahanku.

"Ya udah, nanti Hafid belikan lagi. Uhuk..uhuk…" sambil batuk dia berkata.

"Tuh kan, Mas udah bilang jangan banyak ngomong dulu. Entar tambah sakit lho," nasihatku.

"Nggak apa-apa kok Mas. Oh ya, mama sama papa mana?" tanyanya.

"Mama sama papa belum aku hubungi. Soalnya aku tadi gugup banget. Nanti deh kuberitahu mereka," balasku.

Tit…tit…tit…

Terdengar suara dari pendeteksi detak jantung persis di sebelah kepala adikku.

"Dokter, tolong Dokter! Ada apa dengan adikku Dokter?" spontan aku berteriak sambil memencet tombol panggilan darurat.

"Maaf Pak. Anda tunggu di luar sebentar," seru salah satu suster yang datang.

"Tidak, aku mau menemani adikku!" jawabku tegas.

"Baiklah, tapi agak menjauh sebentar," kata dokter itu.

Tak lama kemudian…

"Maaf Pak. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi adik bapak sudah menghembuskan nafas terakhirnya," jelas dokter itu.

"Tidaaaakkkkk! Jangan mati Dik. Aku belum minta maaf. Aku…aku bener-bener menyesal. Aku baru sadar kalau kamu anak yang baik. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa adikku sekarang. Ya Tuhan, kembalikan adikku!" teriakku. Maafkan Mas, Fid…




Oleh Donny Maulana, Penulis adalah Mahasiswa Stikom

Nabi Nuh 'Alaihi Salam

Posted by Han on Saturday, May 21, 2011

Sekian lamanya kaum Nuh 'Alaihis Salam menyembah berhala, mereka menjadi-kannya sebagai sesembahan yang diharapkan darinya kebaikan dan memohon perlindungan kepadanya dari segala kejahatan, menyerahkan segala urusan dalam kehidupan ini kepadanya. Mereka berdo’a kepada berhala tersebut dengan sebutan Wadd, Suwa’ dan Yaghuts, dan pada kesempatan lain dengan sebutan Ya’uq dan Nasr sesuai dengan apa yang diilhamkan oleh kebodohan dan hawa nafsu mereka. Oleh karena itu Allah mengutus Nabi Nuh 'Alaihis Salam , seorang yang jelas ucapan-nya, cerdas dan lembut, Allah telah memberikan kekuatan kepadanya untuk berdebat dan kemampuan mengemuka-kan argumentasi untuk mematahkan semua alasan yang disampaikan oleh kaumnya.

Nabi Nuh 'Alaihis Salam menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah saja, namun mereka berpaling. Ia juga memberikan peringatan dengan siksa yang pedih, serta memberikan kabar gembira dengan ganjaran yang besar namun mereka tetap buta dan tidak mau mendengar, lagi menyombongkan diri.

Demikianlah Nabi Nuh 'Alaihis Salam menyeru, memaparkan argumentasi dan bukti-bukti akan kebenaran risalah yang diembannya sehingga berimanlah ke-padanya sebagian kecil dari kaumnya.

Kesabaran Nabi Nuh 'Alaihis Salam Atas Ejekan Kaumnya

Di antara kaum Nabi Nuh 'Alaihis Salam berkata: “Kamu tiada lain adalah manusia seperti kami, dan salah satu di antara kami, kalau Allah menghendaki untuk mengutus seorang rasul, maka pastilah Dia akan mengutus seorang malaikat, dan niscaya kami akan mendengarkan seruannya, memenuhi panggilannya, dan orang-orang yang telah mengikuti kamu tiada lain adalah orang hina, rendahan, dan lemah akalnya tidak dapat membedakan mana yang baik dan tidak matang pikirannya, kalau apa yang engkau bawa adalah baik, pastilah kami telah mendahului mereka, dan apabila yang engkau katakan adalah benar, niscaya kami akan lebih dahulu beriman dan mengikuti petunjukmu!”

Mereka terus-menerus menentang dan tak henti-hentinya mengejek dengan berbagai macam cara dan kata. Dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati Nabi Nuh 'Alaihis Salam menjawab: “Apa pendapat kalian, jika aku benar-benar dalam kebenaran dan telah tampak bukti yang nyata tentang kebenaran apa yang aku bawa, dan Allah telah memberikan rahmat dan keutamaan kepada kami dari-Nya, kemudian hati kalian buta dan tertutup, dan kalian berusaha menghalangi matahari dengan telapak tangan kalian, atau menghancurkan bintang-bintang dengan tangan kalian, apakah saya akan mampu menekan kalian supaya beriman, ataukah saya mempunyai kekuatan untuk memaksa kalian agar menjadi orang beriman?”

Akan tetapi mereka hanya mau beriman jika Nabi Nuh 'Alaihis Salam mau mening-galkan kaumnya yang mereka anggap sebagai orang rendahan dan derajat budak, inipun sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat karena hati mereka memang ingkar. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Nabi Nuh 'Alaihis Salam dan dijawab bahwa sesungguhnya da’wah yang ia bawa adalah da’wah yang menyeluruh untuk semua, sama kedudukan orang yang ternama dengan yang tidak, orang yang kaya dan faqir, pimpinan dan orang yang dipimpin. Selain itu merekalah yang selama ini membantunya berdakwah dan menolong ketika orang-orang memusuhi.

Ketika perdebatan telah memun-cak dan mereka telah bosan serta hati mereka telah merasa sesak, mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancam-kan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. 11:32)

Menjawab tantangan kaumnya, Nabi Nuh 'Alaihis Salam bisa mengatakan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak bisa mendatangkan adzab. Beliau menga-takan: “Wahai kaumku, ketahuilah bahwa tempat kembali segala sesuatu hanyalah kepada Allah, jika Dia menghendaki maka Dia akan mem-berikan petunjuk kepada kalian dan jika Dia menghendaki Dia segera mendatangkan adzab dan menyiksa kalian, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan menangguhkan kalian agar nantinya kalian mendapatkan siksaan yang sangat pedih dan sangat dahsyat.”

Lalu Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengadukan segala kesedihan dan kepedihan yang ia hadapi kepada Allah dan memohon pertolongan dan petunjuk-Nya sehingga Allah mewahyukan kepada-Nya: “Bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman diantara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS. 11: 36)

Wahyu Untuk Membuat Perahu

Ketika Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengetahui dari Allah bahwa Dia telah menetapkan tidak ada yang akan beriman lagi kepadanya dan bahwa Allah telah menutup hati mereka sehingga mereka tidak akan tunduk kepada bukti apapun dan tidak akan beriman, maka habislah kesabaran Nabi Nuh 'Alaihis Salam , dan ia pun berdo’a memohon kepada Allah agar membinasakan orang-orang kafir dari kaumnya dan mengampuni kesalahannya, kedua orang tuanya dan orang-orang yang bersamanya (QS. 71: 26-28).

Lalu Allah mengabulkan do’a Nabi Nuh dan mewahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zhalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. 11:37)

Maka Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengambil tempat yang jauh dari kota, dan mulai membuat perahu, akan tetapi dia tidak luput dari olokan dan ejekan kaumnya.

Sebagian mereka berkata: “Wahai Nuh, sebelum ini engkau mengaku bahwa dirimu adalah seorang rasul, lalu bagaimana bisa sekarang engkau menjadi tukang kayu, apakah engkau sudah tidak menjadi nabi atau engkau hendak beralih pekerjaan menjadi tukang kayu?”

Sebagian lain berkata: “Kenapa engkau membuat kapal jauh dari laut dan sungai?Apakah engkau telah menyiapkan sapi untuk menariknya ataukah engkau akan menyuruh angin untuk membawanya?”

Akan tetapi Nabi Nuh berpaling dari ejekan mereka, dan berkata: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagai-mana kalian telah mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal”. (QS. 11: 38-39)

Dia menuju kapal yang sedang dia buat, memperbaiki dan menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menjadi bahtera yang kokoh, dan menunggu apa yang telah dijanjikan oleh Allah, maka Allah mewahyukan kepadanya: “Apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. (QS. 11:40)

Adzab Dari Allah Yang Dijanjikan

Benarlah apa yang diancamkan oleh Allah, seketika saja angkasa dipenuhi awan tebal, lalu langit menurunkan hujan dan bumi mengeluarkan air yang banyak, maka terjadilah banjir besar yang tidak pernah dikira, dan Nabi Nuh 'Alaihis Salam telah berada di bahtera bersama mereka yang telah beriman serta sepasang dari setiap binatang serta mengucapkan: Bismillahi majreha wa mursaha, terkadang bahteranya dibawa oleh angin yang lembut terkadang dengan angin yang kencang. Sementara itu orang-orang yang kafir terus bergelut dengan air bah, mereka berusaha mengalahkan kematian namun kematian mengalahkan mereka, mereka berusaha membanting ombak namun ombaklah yang membanting mereka hingga akhirnya mereka hilang ditelan air dan lenyap dari pandangan, menghilang sebagaimana rahasia yang selalu tersimpan dalam hati. Ombak telah menjadi kuburan bagi mereka sedangkan buih menjadi kain kafannya.

Putra Nabi Nuh 'Alaihis Salam

Dari atas kapal Nabi Nuh melihat putranya Kan’an yang tidak beriman kepadanya sedang berjuang keras melawan ombak dan berusaha untuk berlindung di sebuah gunung, lalu beliau memanggilnya dan mengajak-nya untuk bergabung kepadanya dengan beriman terhadap apa yang dibawanya, beliau berkata: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir”. (QS. 11:42)

Akan tetapi seruan dan ajakan tersebut sama sekali tidak mendapat-kan tempat di hati Kan’an dan dia menyangka bahwa dia akan selamat dari apa yang dihadapinya dan berkata: “Menjauhlah engkau dariku karena aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”

Lalu Nabi Nuh berkata kepadanya sedangkan dia telah dirundung kesedihan dan diliputi oleh kepedihan: “Wahai anakku! Tidak ada yang me-lindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”.

Namun Kan’an tetap keras kepala, nasehat sang ayah yang mencintainya tak digubris, lalu tiba-tiba saja ombak besar menimpa Kan’an dan memisahkan keduanya. Nabi Nuh tidak dapat melihatnya lagi, maka bersedihlah dia lalu menghadap kepada Allah tempat kembali orang yang dirundung duka dan Penolong orang yang kesusahan, dia berkata: “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah bagian dari keluargaku, dan Engkau telah berjanji –dan janji-Mu adalah benar– bahwa Engkau akan menyelamatkanku dan orang-orang yang beriman dari keluargaku dan Engkau adalah seadil-adilnya yang memberi hukuman.”

Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya adalah perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. 11: 46)

Pada saat itulah Nabi Nuh menyadari bahwa rasa kasih sayangnya dan perasaannya telah memalingkannya dari kebenaran, maka dia pun mohon ampun kepada Allah dan perlindungan dari kemurkaan-Nya.

Akhirnya bahtera Nabi Nuh pun berlabuh di atas gunung Judiy, dan dikatakan kepada Nuh: ”Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu’min) dari orang-orang yang bersamamu. “. (QS. 11:48).

Zahwa

Posted by Han on


Zahwa melirik arloji di tangan kirinya. Ups, Charles Jourdannya itu menunjukkan pukul 11.00 waktu Paris. Sebentar lagi pesawat yang membawanya dari kota mode dunia tersebut akan tiba di Bandara Ratu Noor, Yordania. Ditutupnya buku "The End Of The Nations" karya Kenichi Ohmae yang sedari tadi menjadi teman seperjalanannya.

Masih lumayan jauh jarak yang harus ditempuh. Dari Yordan Zahwa masih harus lewat jalan darat lagi menuju Gaza, Palestina. Ah, ia sangat rindu pada tanah kelahiran yang telah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya itu! "Proses perdamaian hampir sempurna, anakku," begitu kata Papa Kareem saat menjenguknya di Paris. "Arafat yang sabar, dan simpatik itu dengan dukungan rakyat akan menjadi presiden di tanah merdeka kita," ujar pria setengah abad, pengusaha Palestina sahabat Arafat, sekaligus sosok ayah yang sangat dikaguminya itu.

"Mon Dieu! Tentu saja kau boleh pulang. Tetapi apa kau yakin di sana tak lagi ada tragedi-tragedi kebencian?" tanya Mommy sebulan lalu. Kekhawatiran masih menyelimuti wanita Perancis yang sejak sepuluh tahun lalu tak lagi mau tinggal di Palestina ini. Tetapi tekad Zahwa telah bulat. Ia harus dan kan kembali. Apalagi beberapa waktu lalu ia bertemu langsung dengan Arafat! Ketika itu pemimpin PLO tersebut tengah mengantar Madame Suha istrinya ke boutique milik Mommy. Ya, Zahwa tak akan pernah lupa kata-kata yang diucapkan Arafat padanya waktu itu.

"Anak yang cerdas, Madame. Palestina merdeka membutuhkannya. Saya berharap anak saya yang juga bernama Zahwa kelak akan seperti anda, Mademoiselle!"

Sungguh, Gaza hampir tak berubah. Kota di Tepi Barat sungai Yordan in masih saja kumuh seperti sepuluh tahun lalu, saat Zahwa meninggalkannya untuk menuntut ilmu di Perancis. Hanya saja kini terdapat sejumlah lelaki berseragam dan mengenakan pet coklat. Sambil menyandang senapan AK-47, atau pistol, mereka sibuk mengatur lalu lintas.

"Polisi Palestina!", tebak Zahwa sambil tersenyum. Bagus, pikirnya, telah ada militer resmi di Palestina. "Kini tiap orang tak perlu bersikap radikal seperti HAMAS dengan intifadhahnya," guman Zahwa. "Mereka terlalu Keras dan tak mau menenpuh jalan damai. Mengerikan bila melihat kenekadan mereka selama ini!" cerita Papa Kareem suatu ketika. Zahwa setuju. Ia masih ingat tayangan televisi CNN setahun lalu. Bulu kuduknya meremang mengingat tubuh-tubuh orang Yahudi yang cerai berai ketika bis mereka diledakkan anggota Hamas di tengah kota Tel Aviv.

"Anda mahasiswi politik bukan?" tanya Arafat padanya waktu itu. "Strategi politik yang tepat untuk menghadapi Israel adalah dengan kompromi damai. Tak mengapa hanya Jericho, Jenin dan Gaza yang dikembalikan pada kita. Kita ikuti dulu permainan ini. Kelak berkat kesabaran bahkan Yerusalem akan kembali pada kita!"

Zahwa terus berjalan. Sesekali dara berusia dua puluh dua tahun ini memergoki pandangan menyelidiki dari warga setempat. Ia pernah mendengar bahwa hubungan antar warga di sini sangat baik, dan mereka saling mengenal satu sama lain. Tapi Zahwa merasa bukan orang asing di sini. Atau karena kaos dan jeans belelnya"

"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KKULLUNA SHOLAHUDIN!"
Suara itu begitu bergemuruh! Zalwa terperanjat saat menoleh ke arah datangnya suara!!! Matanya benar2 terbelalak!!

"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KULLUNA YAHYA AYYASH!"
Dibelakangnya terlihat pemandangan luar biasa! Lautan manusia dengan langkah gagah berjalan menuju ke arahnya. Teriakan takbir tiada henti terdengar! Ada apakah?

Zahwa menyingkir. Rasa takut dan takjub bercampur aduk dalam hatinya. Belum pernah ia melihat lautan manusia yang begitu mengelora seperti ini. Dan mereka semuanya bertakbir! Kini rombongan itu melintas di depannya. Zahwa melihat sesosok tubuh berselimut kafan yang dijunjung oleh sekitar delapan lelaki! Lelaki yang lain berjalan paling depan sambil memegang pengeras suara, memimpin yang lain untuk bertakbir dan meneriakkan yel-yel.

'KHAIBAR-KHAIBAR YA YAHUD! JAISYU MUHAMMAD SAUFA YA'UUD!!"

Rasa ingin tahu Zahwa berkecamuk. Mereka? Jelas warga Palestina. Tua muda bahkan kana-kanak. Ya, kanak-kanak! Dan mayat itu? Ya Allah, lautan manusia mengantarnya! Ribuan orang.., ah bukan, tidak, tetapi ratusan ribu orang! Dan dalam setiap lajur jalan, bertambah lagi jumlah para pengantar itu! "Maaf, mayat siapakah itu?" tanya Zahwa pada seorang wanita tua berabaya hitam yang lewat di hadapannya. Wanita itu memandang Zahwa dengan tatapan tajam dan aneh. Mata merahnya yang terlihat garang tampak basah. "Inilah As Syahid Yahya Ayyash! Mujahid berbudi, musuh nomor satu Yahudi sekarang ini!" katanya sambil menangis lagi dan terus berjalan. "Hamas! Hamas!" Hamas!" Serunya mengepalkan tangannya yang keriput sebelum berlalu.

Zahwa tertegun sejenak. Iring-iringan ini bagaikan air yang mengalir tiada henti. Panjang sekali! Dan..Hamas? "Maaf, siapakah yang wafat ini?" tanyanya. Kali ini pada seorang pemuda. Pemuda itu tampak sendu, namun rahangnya memendam kegeramanan dan kebencian! Zahwa agak takut melihat reaksinya! "Apakah kau mencintai tanah ini? Jika ya, tentu kau membenci 80 Yahudi pembuat makar! Kini Mossad membunuh sang Insinyur ini!! Dan pemuda itu pun berlalu begitu saja sambil bertakbir.

Zahwa mulai faham. Ia pernah mendengar julukan 'the Engineer' dalam peristiwa peledakan bus di Tel Aviv. Sang Insinyur adalah julukan dinas keamanan Yahudi untuk dalang peledakan dashyat yang mencoreng muka Mossad dan Shin Bet (Dinas keamanan Yahudi) itu. "Oo, jadi Yahya Ayyash adalah sang Insinyur,' guman Zahwa. Bakat ingin tahunya muncul. Alih-alih bergegas pergi, ia mulai memperhatikan keadaan. Ratusan ribu orang ini tampak mewakili hampir seluruh penduduk Palestina. Bagaimana orang Hamas seprti Yahya Ayyash bisa mempengaruhi mereka? Belum pernah Zahwa melihat atau mendengar kejadian seperti ini. Seorang Palestina yang kepergiannnya diiringin lautan manusia dengan penuh ta'zim!! Luar biasa! Tiba-tiba Zahwa ingin sekali bergabung dalam lautan manusia itu. Hati kecilnya berperang antara godaan rasa ingin tahu dan kerinduan pada keluarganya. Dan...ya, itu ada sepasukan polisi Palestina!!

"Maaf, mayat siapa itu dan apa yang terjadi?" "Yahya Ayyash! Kami tak bisa membendung arus manusia ini!" kata seorang di antar mereka. "Sebenarnya kami diperintahkan untuk menangkap mereka. Tetapi bagaimana mungkin?" jelas seorang opsir yang tampak panik.

Melihat wajah opsri 'panik' itu, Zahwa menghela nafas sambil menahan senyum. Ia rindu papa Kareem Abror. Rasa itu mengalahkan rasa ingin tahunya. Dengan berat hati, Zahwa menyeret langkahnya pulang. Takbir para pengiring jasad Ayyash masih bertalu-talu di telinganya.

Malam harinya Zahwa melihat berita yang dipancarkan stasiun Israel. Dilihatnya di tivi betapa warga Yahudi menari dan bernyanyi atas kematian pemuda berumur dua puluh sembilan tahun itu, seakan kesedihan akibat kematian Rabin sirna seketika. Ketika kemudian papa Kareem pulang, dilihatnya wajah beliau biasa. Tak sedih seperti orang-orang Palestina yang ditemuinya. "Yahya Ayyash adalah anggota Hamas yang kerap berusaha menggagalkan negosiasi perdamaian," begitu komentar papa Kareem. "Tapi..pemandangan yang saya lihat tadi luar biasa. Bila Hamas bukan gerakan rakyat atau minimal mendapat dukungan rakyat..., tak mungkin Yahya Ayyash mendapat penghormatan sehebat itu! Saya...jadi bingung, papa..." Papa Kareem mengangkat bahu. Cuma itu. Zahwa kecewa.

Pemilu perdana Palestina merdeka tak lama lagi. Papa Kareem tampak sangat sibuk. Entah apa yang dikerjakan beliau. Yang jelas papa tampak antusias. "Papa akan membantu dana kampanye. Bila Arafat menjadi presiden, mungkin papa akan menjadi salah satu menteri. Paling tidak anggota parlemen," kata beliau.

"Tapi mengapa warga Gaza banyak yang tak peduli pada Pemilu ini?" tanya Zahwa. "Dari mana kau tahu? Itu tak benar." Zahwa menggaruk kepalanya. "Hampir tiap sore saya keliling dengan mobil pemberian papa itu. Sungguh, tak ada yang mencolok. Bahkan warga Gaza seolah malas membicarakannya." "Sudahlah! Kita menjadi warga negara yang baik saja. Setuju?" Zahwa diam saja, berusaha tersenyum.

Hari in Zahwa kembali berkeliling. Besok sudah pemilu. Dan seperti hari-hari sebelumnya ia hanya melihat kesibukan polisi dan para pegawai Otorita Palestina. Di antaranya menghapus grafiti-grafiti pro Hamas. Heran, hari ini dihapus, besok selalu ada lagi. "Kali ini kami menjaga setiap tembok yang ada semalaman, nona!" ujar mereka ketika disapa. Mobil Zahwa terus melaju..tiba-tiba..CIIIITTTT! Zahwa me-rem mobilnya kuat-kuat. Seorang ibu muda dengan tiga anaknya melintas! Hampir saja! Zahwa segera turun. Dilihatnya ibu muda itu menarik tangan anak-anaknya menjauhi mobil.

"Assalamu'alaikum, maaf ummu!" sapa Zahwa. Wanita berjilbab putih itu menjawab salam. Dan ketika ia akan berlalu...Zahwa tersentak! Wajah itu! Ya Allah! Tak mungkin Zahwa bisa melupakannya.!! "Sarah?" Ibu muda yang dipanggilnya menoleh terkejut. "Ya Allah Sarah.., kau tak ingat padaku?! Aku Zahwa. Temanmu saat di tsanawiyyah Al Birru!"" Sarah terbelalak!" Subhanalloh!" ucapnya. "Zahwa!" Mereka pun berpelukan. "Siapa nama anak-anak ini?" tanya Zahwa. Kini dara Palestina itu baru melihat sosok ketiga anak temannya dengan cermat. Anak yang paling besar sekitar delapan tahun ternyata pincang. Yang lain memiliki luka bakar membekas sekujur tubuh, sememntara anak yang paling kecil dan masih balita..tampaknya...mengalami patah tulang mencolok, sehingga harus selalu digendong! Benar!!
"Yang paling besar Muhammad, yang kedua Hisyam dan adiknya Haikal," Sarah terus tersenyum cerah. "Allahu Akbar, sepuluh tahun lebih kita tak bertemu." "Ya, sampai kini, kau tetap sahabatku yang paling baik. Tak ada temanku yang bisa setulus dan sebaik engkau!" kata Zahwa. Tetapi pikirannya melayang pada ketiga anak-anak itu. Mengapa? Mengapa ketiga anak Sarah ini cacat??! "Ayo ke rumahku, Zahwa!" Tak lama Corolla itu pun melaju menuju rumah Sarah.

Rumah Sarah sederhana namun sejuk, itu yang dirasakan Zahwa ketika pertama melangkahkan kakinya ke rumah Sarah. Tak ada hiasan lain kecuali kaligrafi. "Ini suamimu?" tanya Zahwa saat menatap satu-satunya foto yang ada di ruangan itu. Sarah mengangguk. "Mana dia? Bekerja?" Sarah menggeleng. "Mahmud syahid."

Zahwa bagai disengat listrik!" Polisi Palestina?" Bagaimana mungkin?" "Suamiku mengetahui konspirasi rahasia antara Mossad dan Musa Arafat, kepada polisi Palestina, untuk membunuh Ayyash," tutur Sarah datar. "Ia mencoba memberitahu Ayyash, namun anak buah Musa Arafat menjebak, dan menembaknya mati." Keduanya terdiam. Hening.

Zahwa tenggelam dalam kenyataan yang menyakitkan. Ia sudah memperkirakan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tapi apa yang ia dengar melampaui semua perkiranannya. Sarah tersenyum," Sepuluh tahun kau tak di sini. Negeri ini masih mempertahankan kemuliannya walau para musuh Allah tak henti membuat makar. Perdamaian dan pemilu yang digembar gemborkan itu semu semata." "Tetapi.."

"Zahwa, satu-satunya yang masih dipercaya oleh rakyat hanyalah Hamas! Mungkin selama di Perancis, kau banyak mendengar berita sumbang tentang Hamas. Seolah hamas adalah gerakan teroris yang tak berperikemanusiaan! Percayalah, Zionis Israel-lah yang biadab! Lebih dari yang bisa kita bayangkan! Kau lihat Muhammad, Hisyam dan Haikal? Mereka korban kebiadaban dan kepengecutan pasukan Israel..." "Hah?" Hati Zahwa seperti dihantam palu godam! Sarah berkata dengan lembut namun menggetakan hati "Bukankah Allah berfirman dalam Al Quran, orang-orang yahudi tak akan rela sampai kita mengikuti mereka. yahudi juga suka mengubah perjanjian. Mereka tak mau memberikan kurma untuk kaum muslimin, apalagi sebuah negara! Maha benar Allah!" "Tapi ..PLO, Arafat..berusaha..damai..." "Zahwa, bukankah kau sarjana ilmu politik? Belumkah jelas bagimu bahwa orang yang kau kagumi itu tak lebih hanya perpanjangan tangan Zionis untuk mengkotak-kotak dan menbinasakan kita?" Mereka berdua lalu larut dalam pembicaraan panjang. Zahwa agak terkejut melihat Sarah begitu mengasai berbagai hal tentang Palestina. Tiba-tiba Zahwa resah. Resah sekali!

Saat pulang, ia kemudikan mobilnya dengan lambat. "Media-media dunia selalu berkata jelak tentang Hamas dan mengelukan kebijakan Arafat yang sebenarnya diarahkan Israel dan Amerika itu," kata-kata Sarah tergiang-giang di benaknya, "Apa yang diberitakan tak sesuai dengan kenyataan! Bahkan anakku hanyalah contoh dari banyak korban lainnya!"

Bodohnya aku selama ini! Pikir Sarah. Kesadaran baru mulai mengisi hatinya. Perasaan gusar sendri. Geram! Percuma saja selama ini ia belajar politik tetapi buta terhadap kenyataan politik yang ada. Dan...subhanalloh, ia malu pada Sarah! Ia malu pada Palestina negrinya tercinta karena tak pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi selama ia pergi. Sungguh!

Akhirnya pemilupun tiba. Tak seperti pesta demokrasi pada umumnya, Zahwa merasakan suasana yang lengang. "Jangan lupa untuk datang mengisi kotak suara!" pesan papa Kareem kemarin malang. Tetapi Zahwa hanya berkeliling dengan mobilnya. Pemilu macam apa ini, pikirnya ketika dilihatnya pasukan Israel turut mengawasi jalannya pemilu. Ia bertambah gusar saat mengetahui sebagian besar kandidat berasal dari partai Fatah, yang dipimpin Arafat. Padahal kantor pemilu juga dijalankan oleh orang-orang Fatah. Tidak ada komisi independen seperti yang semestinya terjadi. Zahwa merutuk dalam hati, pemilu macam apa ini! Sore harinya Zahwa tambah terkejut. Kotak suara hilang seusai pemungutan suara! "Di Nablus, ada kandidat independen yang dibunuh polisi Palestina ketika keluar dari kantornya!" kata Sarah sambil menyuapi anak-anaknya makan. "Sesuai skenario bersama AS-Israel, Arafat harus memenangkan Pemilu untuk menjaga proses 'perdamaian'.

Kian lama logika politis seperti it kian mudah difahami oleh Zahwa.

Tiba-tiba....BBBBRRRAAAAKK! BBRRAAKK! Zahwa, Sarah dan ketiga anaknya terkejut! Tiga orang mendobrak pintu! yang seorang berpakaian ala Hamas, berkaos lengan panjang dan mengenakan penutup muka. Dua yang lain mengenakan gamis putih dan sorban! Mereka bersenjata! "Yahudi pengecut! Bahkan harus menyamar untuk menangkapku!" teriak Sarah sinis. Zahwa terperangah. Refleks dipeluknya ketiga anak Sarah yang belum selesai makan itu.
"Ikut kami jika tak ingin bernasib sama dengan Ayyash atau Mahmud!" ujar salah seorang sambil menarik lengan Sarah kasar. Sarah berontak! Meludahi orang-orang itu! Zahwa bergerak ingin membantu. Tapi...bagaimana?

"Bawa anakku pergi! Cepaatt! Cepat Zahwa! Aku akan melawan mereka!" Zahwa bingung! Dilihatnya Sarah memukul, menggigit, menendang orang-orang itu! Dan ketika metanya menangkap kilatan pisau buah dikolong meja, Zahwa segera mengambilnya.

"Simon, angkat anak2 itu!" teriak salah satu yahudi itu. "Kita tembak di depan ibunya..ha..ha..ha..!" Sekuat tenaga Zahwa berusaha melindungi Muhammad, Hisyam dan Haikal! CRESH! Ia berhasil melukai lengan yang bernama Simon! "Ummi! Um..mii.."

Muhammad merangkul adik-adiknya, bersembunyi di balik kursi. "Bajingan semakin terdesak! Kini belasan tusukan menghujamnnya! Sarah terjerembab! Di sampingnya terbunuh pula seorang Yahudi! "Bajingan! Maju! Ayo maju!!" Zahwa histeris. Kedua orang Yahudi itu saling bisik. "Kita tinggalkan. Dia anak Kareem Abroro.." Dan mereka pun beranjak pergi. Terlambat! Dari belakang Zahwa meleparkan pisaunya! Tepat!! Seorang Yahudi lagi roboh! Sementara sisanya melarikan diri!!

Kini di sudut ruangan dilihatnya ketiga anak Sarah menangis berpelukan. "Ummi syahid..., jangan terus..menangis," bujuk Muhammad. Dada Zahwa menggelegak!

Tahukah papa, jumlah rakyat Palestina sekitar 4 juta jiwa. Sejuta di dalam dan 3 juta di luar Palestina. Dari sejuta penduduk itu hanya 48% yang mengikuti pemulu, kebanyakan pengikut Arafat. Jadi wajar bila ia menang 90% suara. Bila dihitung total, presiden Palestina in hanya didukung tak sampai 20% saja dari rakyatnya! Begitu pun diperolehnya dengan banyak..kecurangan." "Apa yang kau bicarakan?"

"Slamat papa, kini papa telah mejadi dewan parleman!" kata Zahwa sinis. Kareem Abror mengernyitkan dahi, memandang anaknya aneh. Dan tiba-tiba...

"Maaf.., tetapi saya akan..bergabung dengan HAMAS." suara Zahwa hampir tersekat di kerongkongan.

"Apa? Zahwa..., kau...mereka bodoh dan gila! Mereka teroris!" "Jangan bodohi saya lagi, papa. Mereka pejuang! Dan bagi pejuang tak ada perdamaian tanpa keadilan! Adilkah namanya bila penjajah Yahudi Israel yang sama sekali tak memiliki hak atas negri ini, disambut bagai pahlawan kalau memberikan kita sepetak Jericho, Gaza dan Jenin!? Perdamaian bodoh. Ini komspirasi internasional terhadap ummat Islam!"

"Keparat! Kurang ajar!" Kareem menampar Zahwa kuat-kuat! "Saya akan bergabung dengan mereka yang tak akan pernah menjual tanah airnya demi apa pun! Maafkan saya!!!" kata Zahwa tegar sambil mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Kareem Abror meludah dan membuang muka. "Pergi! Pergi dan jangan kembali !" katanya garang. Zahwa menatap wajah papa lama. Ia ingin menangis, tetapi kini bukan waktunya. Ya, ia tak akan menangis. Ia hanya perlu bangit dengan tenang dan berlalu dari situ. Muhammad, hisyam dan haikal tentu telah menunggunya. Lengang.

Ada sudut mata kareem yang pedih memandang sosok berabaya hitam berjilbab putih itu dari jauh. "Zahwa, anakku.., kau benar," bisiknya. Maafkan aku ...yang tak pernah sangguuup..."

Bersama Seorang Pemuda Penggali Kubur

Posted by Han on

Diriwayatkan dari Ibnu Hubaiq : Riwayat dari ayahku yang berkata, Yusuf bin Asbath pernah bertemankan seorang pemuda dari Teluk, yang tidak pernah berbincang-bincang dengannya (Yusuf) selama sepuluh tahun. Akan tetapi, Yusuf mengetahui kerisauan dan kecemasan hati pemuda itu dan juga ketekunannya melakukan ibadat pada siang mahupun malam hari. Kepada pemuda itu Yusuf pernah berkata, "Apa sebenarnya pekerjaanmu dahulu, sehingga aku lihat dirimu selalu tertunduk menangis?" "Dahulu aku adalah seorang penggali kubur," jawabnya. "Apa yang pernah kamu lihat saat berada di liang lahat?" tanya Yusuf meminta penjelasan. "Aku melihat rata-rata muka mereka dipalingkan dari arah kiblat, kecuali beberapa orang saja," kata pemuda itu. "Kecuali beberapa orang saja?" tanya Yusuf dengan penuh heran.


Setelah berkata demikian, Yusuf pun gelisah dan fikirannya tidak tenteram. Oleh itu dia memerlukan ubat untuk menyembuhkan kegelisahannya. Ibnu Hubaiq meneruskan ceritanya, "Ayahku berkata: Kami lalu memanggil doktor Sulaiman untuk mengubati Yusuf. Setelah mendapatkan perawatan yang teratur, Yusuf pun sihat kembali seperti sediakala dan dia pun berkata, "Kecuali hanya sedikit saja!" Yusuf terus-menerus mengucapkan demikian, dan lantaran itu dia mendapatkan perawatan terus agar fikirannya normal kembali. Ketika doktor Sulaiman selesai mengobati dan hendak pulang, Yusuf berkata kepada orang-orang yang menungguinya, "Apa yang mesti kalian berikan kepada doktor itu?"

"Dia tidak mengharapkan apa-apa darimu," jawab kami semua.
"Subhanallah! Kalian telah berani mendatangkan doktor kerajaan, akan tetapi, aku tidak memberikan sesuatu pun kepadanya," kata Yusuf.
"Berikan kepadanya uang beberapa dinar!" kata kami kepada Yusuf.
Ambillah ini dan berikan kepadanya serta tolong beritahukan kepadanya bahawa aku tidak memiliki sesuatu pun, kecuali sekadar ini, agar dia tidak berprasangka bahwa aku ini mempunyai harga diri yang lebih rendah daripada para raja," kata Yusuf.

Yusuf kemudian menyerahkan sebuah kantong berisi uang sebanyak lima belas dinar dan diberikannya kepadaku. Selanjutnya kuserahkan uang tersebut kepada doktor Sulaiman atas pertolongannya kepada Yusuf. Sejak peristiwa itu Yusuf akhirnya tekun menganyam tikar dari daun kurma hingga akhir hayatnya. Dan diriwayatkan dari Hubaiq yang mengatakan: Yusuf bin Asbath pernah berkata, "Dari ayahku, aku mendapatkan harta waris berupa tanah seharga lima ratus dinar yang terletak di daerah Kufah. Akan tetapi, pada akhirnya terjadilah perselisihan di antara saudara-saudaraku, kerana itu aku meminta pendapat kepada Hasan bin Shaleh. Hasan bin Shaleh lalu berkata kepadaku, "Aku tidak ingin kamu terlibat pertentangan dengan mereka, hanya disebabkan masalah tanah yang akan kita masuki kelak." Demikianlah atas saranan Hasan bin Shaleh itu, maka kurelakan tanah itu kepada merJustify Fulleka secara ikhlas kerana Allah SWT semata sebab aku menyedari bahawa diriku adalah bahagian daripada tanah.