Aku Mencintai Sepasang Kaki
Bagaimana aku mewujudkan perasaan ini padamu ? Di taman kota, di salah satu sudut bangku yang ada, di dekat rindang pohon cemara menghadap ke sebuah danau buatan kecil yang jernih, ditaburi teratai mekar, pertama kali aku melihatmu di sana. Melia, kudengar beberapa sapaan menegurmu, hingga aku mempercayakan mengenali namamu. Apa yang membuat jiwaku menyalakan getaran-getaran ini, seperti untaian wewangian yang datang perlahan menjalin nuansa tertentu, dalam terasa dan bertahan lama. Hingga detak ini tak terhitung lagi, terungkap untuk apa dan bagaimana hingga menjadi sesuatu yang pasti, rasa. Jiwaku dilanda kasmaran padamu. Melia, bagaimana caranya aku menerbangkan sayapku yang hanya sebelah. Mengenalmu pun begitu jauh, meski elok ayumu ada di pelupuk mataku, selalu. Rajutan-rajutan itu semakin hari kian saja menjadi, tersusun rapi untuk sesuatu yang pasti, dirimu. Melia, apa yang kau lihat padaku yang tertunduk di salah satu bangku yang sepi dan rimbun dalam kerindangan yang mampu menyembunyikan ekor mataku yang berenang mereguk kedalamanmu ? Mungkin tak pernah kau sadari. Sepasang kakimu selalu melangkah di depan bangku ini. menyisakan beberapa tapakan yang mampu membuat jiwaku terkubur di dasarnya, lapuk. Sepasang kaki itu, aku jatuh cinta padamu karenanya. Jika ia tak pernah berlalu dari hadapanku, aku mungkin tak pernah mengenali siapa pemiliknya. Sepertinya Tuhan menghadirkan langkah-langkah itu seperti awan yang berlalu untuk menyapaku tentang hujan. Memperkenalkan dirinya pada serat-serat yang memancar dari tiap kehidupan. Tapi Melia, kenapa ia bisa bertahan begitu lama jika tidak ada sebab musababnya. Terkadang aku ingin menanyakan sesuatu, bagaimana ia bisa melahirkan getaran-getaran yang begitu sempurna. Sungguh, jika aku mampu berteriak merobohkan gunung dan mengeringkan laut, aku ingin mengatakan aku mencintaimu sedalam sentuhan jiwa yang kurasakan dan kau kuras hingga kerontang. Setitik embun pencerahan cinta di matamu akan sanggup menerbangkan aku ke alam surgawi, membius langit hingga terbungkam, mendobrak kesunyian rimba raya dan lautan. Meski wujudmu hanya setitik, kau begitu berharga dalam tarikan nafas ini, Melia. Entah kenapa aku begitu bangga mampu meraih detak yang dihadirkan alam oleh penampakanmu. Aku merasakan puncak cahaya oleh sentuhan terdalam yang hadir melalui wajahmu. Matahari senja ini begitu lelah. Sekuntum melati yang ada digenggamanku mulai layu dan kehilangan wewanginya. Kembang yang telah dipetik tidak mampu bertahan lama. Rasanya lebih indah jika ia tetap berselimut bersama tubuh-tubuhnya yang lain, menyatu tanpa terpisah. Aku mungkin akan tetap menikmatinya di tangkai hingga ia rontok dengan sendirinya. Tak ada kumbang yang mau menyentuhnya dalam keadaan demikian. Melia, benarkah apa yang kuungkapkan ? Taburan matahari mereda menyisakan hawa dingin yang mulai turun. Sudah ada sekian waktu menghilang, sepasang kaki itu tak pernah lagi hadir di keindahan taman kotaku yang kian hari menjadi ramai tapi terasa sepi. Dorongan hatiku mengusik hingga sudutnya yang tersembunyi. Kemana gerangan kau pergi, Melia ? Apakah cahaya cintaku yang tidak pernah terungkap mengusikmu ? sungguh telah kubebaskan perasaan ini untuk memenjarakanmu dengan ungkapan-ungkapan yang romantis dan puitis yang mampu menjebakmu dalam rongga kebisuan yang terdalam. Aku menatap sudut bangku di mana Melia biasa terduduk dengan tawanya yang tersungging bersama seorang pria yang begitu sempurna berada di dekatnya. Melia, alangkah bahagia mampu melihatmu dalam rasa yang selalu didamba oleh tiap-tiap jiwa yang kesepian, sebuah sentuhan cinta kasih yang mampu membuatnya tertawa dan menangis. Perasaan yang mampu menyempurnakan kehidupannya dengan kecemburuan, makian, marah hingga cercaan. Melia, sungguh aku kesepian karena kehilanganmu. Sepasang kaki indah yang biasa hadir di mataku mengukir keindahan tersendiri di satu rongga jiwaku, menghilang, tanpa pernah kukenali, tanpa pernah kuingat lagi, tanpa pernah kuungkapkan perasaan-perasaan ini. Melia, adakah perasaan itu murni ? Kepedihan yang lama akan kepergianmu membuat taman ini terasa hambar. kicauan merpati terasa sumbang terbang menjejaki tubuhku hingga terasa pedih dan lukanya. Kehilangan cintamu, kehilangan dirimu seolah membuat hilang diriku. Menenggelamkanku di sudut kehidupan. Kepedihan, air mata, tawa, sirna bersamamu. Aku tetap mencintaimu hingga aku mati, cinta itu akan tetap hadir bersama leburnya jasadku, ia akan mampu bersemai lagi. Di antara padi, rumput, kembang-kembang, pohon, aku damai dalam cinta. Kuharap masih mampu tumbuh lagi suatu hari di lain kehidupanku. Setiap hari, ditemani langit pelangi aku selalu hadir di taman ini. Suara anak-anak riuh dengan permainannya serasa berkata,
“Wahai bumi yang indah, aku telah mampu merengkuh kalian dengan cinta ayah ibuku. Lihatlah begitu bahagia mereka tertawa bersamaku. Bukankah aku penguasa cinta yang hadir dari sebuah kesepian panjang !” Dan aku akan tersenyum. Suara bocah-bocah itu hanya akan hadir di sini. Terlalu berat aku sanggup untuk membuatnya hadir dari diriku. Menjelmakan diri menjadi jiwa lain yang akan terlalu sulit untuk kuselami. Melia, satu-satunya yang aku sanggup mengerti hanya dirimu. Dengan segenap hatiku yang tersentuh kedalamannya oleh desahan nafasmu, aku memanggilmu, aku datang di sini, menatapi angsa berayun di air yang perak oleh matahari hingga menjadi keemas-emasan. Kulihat hanya jejak-jejakmu. Melia, adakah semua pengetahuan yang aku punya mampu memberikan jawaban atas semua rahasia yang ingin aku pertanyakan ? Di antara ketaatan yang membuatku percaya dengan cahaya Tuhan adakah yang mampu membuatku lebih teguh tanpa sebuah cinta. Kalaupun semuanya yang terukir ini hanya sebuah masa yang harus lepas, ia tak pernah lepas seluruhnya. Ia tetap ada di sini, Melia. Tersembunyi dengan indah dan hanya akan hadir bila embun menitik dan bayou mengalunkan tembang kerinduan. Adakah yang lebih mampu memisahkan cinta ini, Melia ? Di sudut bumi manapun kau tersembunyi, ada patahan sayapmu di sini. Aku hanya orang bisu yang tak mampu berujar dalam nada-nada yang bisa kau pahami. Bahasaku lebih indah melebihi rayuan mesra kekasihmu jika kau mampu membacanya dari jendela mataku yang tak pernah tenggelam dalam dasar kebisuan yang membuatku terdampar di dasar kehidupan tanpa komunikasi. Melia, sebuah kecelakaan yang menimpaku telah membuatku melihat lebih dewasa. Aku menderita untuk pertama kalinya karena aku tak mampu lagi berkomunikasi dengan orang-orang yang aku sayangi. Namun cinta mampu membuat aku bicara, bahwa mataku lebih hidup dari sentuhan terdalam jiwaku yang mendamba. Memberontak dari kesepian-kesepian yang lahir sejak kehadiran jiwa itu di alam. Melia, sanggupkah suaraku yang tak terdengar ini menghidupkanmu, membawamu berlari memelukku di sudut bangku taman kota ini. Melia, sepertinya aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Tuhan mengajarkan cinta kasihnya dari dirimu. yang kian kusadari di antara lembaran-lembaran yang aku kenali, sudut ruangmu tetap terisi hingga kini. Sentuhan terdalam yang diberikannya hadir dari setiap yang nampak di mataku, terdengar di telingaku, terasa di kulitku, hingga kurasa kehadirannya di sini, bersamaku. Ia nyata ada padaku.
“Eyang, Eyang sudah sore, pulang yuk !” rajuk seorang bocah kecil yang adalah cucuku. Matanya indah seperti bola jernih, rambutnya keriting ikal hitam, kulitnya bersih. Aku hanya mampu tersenyum. Dia adalah cucuku. Kuberi nama ia Melia. Seperti menatap kelahiran kembali, kaki-kakinya yang mungil memperagakan tarian yang selalu kuajarkan, Serimpi, centil dan gila. Bocah kecil itu suka berdansa denganku dengan tubuh mungilnya berdiri di atas meja. Kuletakkan bunga layu itu di sudut bangku. Entah di mana kuburmu yang pasti kehilanganmu menitik lagi bagai sentuhan embun pagi yang menghilangkan kehausanku yang panjang. Melia, aku tetap mencintaimu.
Bandar Lampung, Januari 2001
By Dyah Indra Mertawirana
“Wahai bumi yang indah, aku telah mampu merengkuh kalian dengan cinta ayah ibuku. Lihatlah begitu bahagia mereka tertawa bersamaku. Bukankah aku penguasa cinta yang hadir dari sebuah kesepian panjang !” Dan aku akan tersenyum. Suara bocah-bocah itu hanya akan hadir di sini. Terlalu berat aku sanggup untuk membuatnya hadir dari diriku. Menjelmakan diri menjadi jiwa lain yang akan terlalu sulit untuk kuselami. Melia, satu-satunya yang aku sanggup mengerti hanya dirimu. Dengan segenap hatiku yang tersentuh kedalamannya oleh desahan nafasmu, aku memanggilmu, aku datang di sini, menatapi angsa berayun di air yang perak oleh matahari hingga menjadi keemas-emasan. Kulihat hanya jejak-jejakmu. Melia, adakah semua pengetahuan yang aku punya mampu memberikan jawaban atas semua rahasia yang ingin aku pertanyakan ? Di antara ketaatan yang membuatku percaya dengan cahaya Tuhan adakah yang mampu membuatku lebih teguh tanpa sebuah cinta. Kalaupun semuanya yang terukir ini hanya sebuah masa yang harus lepas, ia tak pernah lepas seluruhnya. Ia tetap ada di sini, Melia. Tersembunyi dengan indah dan hanya akan hadir bila embun menitik dan bayou mengalunkan tembang kerinduan. Adakah yang lebih mampu memisahkan cinta ini, Melia ? Di sudut bumi manapun kau tersembunyi, ada patahan sayapmu di sini. Aku hanya orang bisu yang tak mampu berujar dalam nada-nada yang bisa kau pahami. Bahasaku lebih indah melebihi rayuan mesra kekasihmu jika kau mampu membacanya dari jendela mataku yang tak pernah tenggelam dalam dasar kebisuan yang membuatku terdampar di dasar kehidupan tanpa komunikasi. Melia, sebuah kecelakaan yang menimpaku telah membuatku melihat lebih dewasa. Aku menderita untuk pertama kalinya karena aku tak mampu lagi berkomunikasi dengan orang-orang yang aku sayangi. Namun cinta mampu membuat aku bicara, bahwa mataku lebih hidup dari sentuhan terdalam jiwaku yang mendamba. Memberontak dari kesepian-kesepian yang lahir sejak kehadiran jiwa itu di alam. Melia, sanggupkah suaraku yang tak terdengar ini menghidupkanmu, membawamu berlari memelukku di sudut bangku taman kota ini. Melia, sepertinya aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Tuhan mengajarkan cinta kasihnya dari dirimu. yang kian kusadari di antara lembaran-lembaran yang aku kenali, sudut ruangmu tetap terisi hingga kini. Sentuhan terdalam yang diberikannya hadir dari setiap yang nampak di mataku, terdengar di telingaku, terasa di kulitku, hingga kurasa kehadirannya di sini, bersamaku. Ia nyata ada padaku.
“Eyang, Eyang sudah sore, pulang yuk !” rajuk seorang bocah kecil yang adalah cucuku. Matanya indah seperti bola jernih, rambutnya keriting ikal hitam, kulitnya bersih. Aku hanya mampu tersenyum. Dia adalah cucuku. Kuberi nama ia Melia. Seperti menatap kelahiran kembali, kaki-kakinya yang mungil memperagakan tarian yang selalu kuajarkan, Serimpi, centil dan gila. Bocah kecil itu suka berdansa denganku dengan tubuh mungilnya berdiri di atas meja. Kuletakkan bunga layu itu di sudut bangku. Entah di mana kuburmu yang pasti kehilanganmu menitik lagi bagai sentuhan embun pagi yang menghilangkan kehausanku yang panjang. Melia, aku tetap mencintaimu.
Bandar Lampung, Januari 2001
By Dyah Indra Mertawirana