Balon Cinta Okinawa
Terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini, kata Ohida, lelaki tua janggut putih sambil duduk termenung di atas tikar menghadap meja penghangat. Pandangannya terpusat pada pintu rumahnya yang setengah terbuka. Teh teguk terakhir mencairkan butiran-butiran salju musim dingin yang turun hebat. Senja yang muram. Badai baru saja reda. Diraihnya baju tebal dan ikat penutup kepala. Di beranda Ohida melepas balon.
Pelan-pelan balon itu mengudara. Ohida tidak ingin balon itu tersangkut lagi di pohon Sakura seperti hari kemarin. Matanya yang cekung tak berkedip demi memastikan balon bergambar seorang perempuan dalam warna merah jingga itu terbang mengudara. Ohida berharap balon miliknya tak hanya sampai di Okinawa atau Tsukudajima atau kempes dan jatuh di danau Suwa.
Tiap hari Ohida melepas satu balon. Sebuah surat ditalikan pada ujung penyumbat udara. Tiap hari pula Ohida melukis wajah seorang perempuan. Kadang, di sela kesibukannya mengurus, Tagawa, cucunya paling cerewet dan suka usil, Ohida merancang gambar seribu perempuan yang akan dilukis esok hari. Hari ini perempuan itu mengenakan Kimono merah bara. Dua supit menancap di rambutnya.
Telah ribuan surat kukirim, kata Ohida, tapi aku tak pernah menerima balasan. Di manakah perempuan itu sekarang. Ohida termenung sambil memandangi samurai yang tergantung di dinding. Dia teringat ketika pertama kali cintanya tertancap pada seorang gadis Jawa, Sumirah.
Semula, Ohida tak begitu mencintai Sumirah. Tapi Samurai berbungkus kulit rusa Jawa inilah yang kemudian menggores hatinya. Pagi itu, di bulan Maret 1944, Ohida memimpin satu regu pasukan PETA. Dia ditugaskan menghadang sekutu yang hendak memasuki pinggiran kota Sakagiri.
"Satu jam lagi Sekutu tiba. Hadang dan hancurkan." Komandan Nomihara berdiri tegak. Matanya nanar. Urat nadinya menegang. Marah. Geram
"Haik. Tap. Tap. Tap."
Pasukan berangkat menuju arah matahari senja. Pada kilometer tiga dari pusat kota, dua lemparan tombak ke arah bukit Sakagiri, desingan mortir menghentikan gerak laju pasukan itu.
"Tiarap!" Ohida meloncat ke parit sawah diikuti yang lain. Ada tidak kurang lima kali dentuman dahsyat meluluh lantakkan radius tujuh lompatan kuda dari tempat mereka sembunyi. Tanah muncrat. Asap mengepul. Satu lagi dentuman mortir mematahkan pohon trembesi.
"Bidik senjata ke arah senja. Tahan. Jangan tembak dulu. Tunggu sampai asap menghilang." Setengah berteriak Ohida memberi perintah sambil tiarap seraya menghapus wajahnya yang kuyup terkena muncratan lumpur sawah.
Sebuah mortir meledak lagi. Kali ini tepat di tengah pasukan. Potongan-potongan tubuh melenting ke udara. Darah menyembur. Terdengar erangan sakit, entah siapa, lalu diam. Ohida memandangi tubuh-tubuh pemuda Jawa itu hancur seperti daging cincang. Bersamaan dengan itu dua tentara sekutu mendekat. Peluru diobral. Lima lagi yang bergelimpangan.
"Nippon keparat." Seorang prajurit sekutu menarik pelatuk. Moncong senapan itu mengarah ke Ohida. Dia tak ingat apa-apa lagi kecuali kilatan samurai memantulkan cahaya senja. Dua tubuh ambruk. Tentara Sekutu itu terpenggal lehernya. Sarpan berlobang kepalanya.
***
Salju tipis. Sebuah pintu rumahnya membukakan pemandangan gunung Fuji. Serombongan bangau melintas, O, Gunung Fuji yang tegak tempat para dewa bersemayam. Ohida menatap Fuji dengan pandangan Merapi (di sanalah dia untuk terakhir kalinya menggenggam tangan Sumirah). Dua hari kemudian Ohida sudah berada di atas dek kapal dengan tangan terikat. Mulutnya disumpal kain.
"Kaisar tak ingin Nippon sejati jatuh cinta dengan perempuan tanah jajahan. Tapi kau melakukan juga, Ohida."
Ohida diam. Bungkam. Tak ada alasan membantah komandan seperti juga tak ada alasan untuk menjelaskan budi baik Sarpan yang menyelamatkan nyawanya. Ohida ingin membalas itu dengan cinta.
Dan butir-butir salju menempel di ranting Sakura. Ohida membayangkan pastilah pegunungan Totomi disaput kabut gelap. Ohida lalu mengambil secarik kertas. Dituliskannnya sebaris puisi tentang burung bangau yang terbang lelah lalu jatuh di kawah Merapi. Tubuhnya gosong. Aroma bulunya yang terbakar dihirup para Dewa.
Dengan langkah gontai Ohida beranjak menuju halaman. Satu balon lagi dilepaskannya. Sebuah amplop terbungkus selendang batik kusam itu pelan-pelan lenyap dari pandangan Ohida. Kini Ohida berharap balon itu akan terbang jauh, jauh sekali menyeberangi samudera luas. Ohida tersenyum. Diraihnya samurai itu lalu pelan-pelan dihunusnya. Samurai yang putih bersih seperti salju. Ohida tersenyum. Salju menetes merah bersamaan kilatan samurai menancap di perutnya. Di ujung samudera surat itu dibaca, entah oleh siapa : untuk Sumirah. (***)
Jogja-Solo, Maret 2002
By Sholihul Hadi