EBOOK, BOOKS, FREE DDOWNLOAD E-BOOK, DOWNLOAD GRATIS, NOVEL AGATHA CHRISTIE, EBOOKS BISNIS
Pindah Alamat Webblog
Aku Mencintai Sepasang Kaki
“Wahai bumi yang indah, aku telah mampu merengkuh kalian dengan cinta ayah ibuku. Lihatlah begitu bahagia mereka tertawa bersamaku. Bukankah aku penguasa cinta yang hadir dari sebuah kesepian panjang !” Dan aku akan tersenyum. Suara bocah-bocah itu hanya akan hadir di sini. Terlalu berat aku sanggup untuk membuatnya hadir dari diriku. Menjelmakan diri menjadi jiwa lain yang akan terlalu sulit untuk kuselami. Melia, satu-satunya yang aku sanggup mengerti hanya dirimu. Dengan segenap hatiku yang tersentuh kedalamannya oleh desahan nafasmu, aku memanggilmu, aku datang di sini, menatapi angsa berayun di air yang perak oleh matahari hingga menjadi keemas-emasan. Kulihat hanya jejak-jejakmu. Melia, adakah semua pengetahuan yang aku punya mampu memberikan jawaban atas semua rahasia yang ingin aku pertanyakan ? Di antara ketaatan yang membuatku percaya dengan cahaya Tuhan adakah yang mampu membuatku lebih teguh tanpa sebuah cinta. Kalaupun semuanya yang terukir ini hanya sebuah masa yang harus lepas, ia tak pernah lepas seluruhnya. Ia tetap ada di sini, Melia. Tersembunyi dengan indah dan hanya akan hadir bila embun menitik dan bayou mengalunkan tembang kerinduan. Adakah yang lebih mampu memisahkan cinta ini, Melia ? Di sudut bumi manapun kau tersembunyi, ada patahan sayapmu di sini. Aku hanya orang bisu yang tak mampu berujar dalam nada-nada yang bisa kau pahami. Bahasaku lebih indah melebihi rayuan mesra kekasihmu jika kau mampu membacanya dari jendela mataku yang tak pernah tenggelam dalam dasar kebisuan yang membuatku terdampar di dasar kehidupan tanpa komunikasi. Melia, sebuah kecelakaan yang menimpaku telah membuatku melihat lebih dewasa. Aku menderita untuk pertama kalinya karena aku tak mampu lagi berkomunikasi dengan orang-orang yang aku sayangi. Namun cinta mampu membuat aku bicara, bahwa mataku lebih hidup dari sentuhan terdalam jiwaku yang mendamba. Memberontak dari kesepian-kesepian yang lahir sejak kehadiran jiwa itu di alam. Melia, sanggupkah suaraku yang tak terdengar ini menghidupkanmu, membawamu berlari memelukku di sudut bangku taman kota ini. Melia, sepertinya aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Tuhan mengajarkan cinta kasihnya dari dirimu. yang kian kusadari di antara lembaran-lembaran yang aku kenali, sudut ruangmu tetap terisi hingga kini. Sentuhan terdalam yang diberikannya hadir dari setiap yang nampak di mataku, terdengar di telingaku, terasa di kulitku, hingga kurasa kehadirannya di sini, bersamaku. Ia nyata ada padaku.
“Eyang, Eyang sudah sore, pulang yuk !” rajuk seorang bocah kecil yang adalah cucuku. Matanya indah seperti bola jernih, rambutnya keriting ikal hitam, kulitnya bersih. Aku hanya mampu tersenyum. Dia adalah cucuku. Kuberi nama ia Melia. Seperti menatap kelahiran kembali, kaki-kakinya yang mungil memperagakan tarian yang selalu kuajarkan, Serimpi, centil dan gila. Bocah kecil itu suka berdansa denganku dengan tubuh mungilnya berdiri di atas meja. Kuletakkan bunga layu itu di sudut bangku. Entah di mana kuburmu yang pasti kehilanganmu menitik lagi bagai sentuhan embun pagi yang menghilangkan kehausanku yang panjang. Melia, aku tetap mencintaimu.
Bandar Lampung, Januari 2001
By Dyah Indra Mertawirana
Balon Cinta Okinawa
Terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini, kata Ohida, lelaki tua janggut putih sambil duduk termenung di atas tikar menghadap meja penghangat. Pandangannya terpusat pada pintu rumahnya yang setengah terbuka. Teh teguk terakhir mencairkan butiran-butiran salju musim dingin yang turun hebat. Senja yang muram. Badai baru saja reda. Diraihnya baju tebal dan ikat penutup kepala. Di beranda Ohida melepas balon.
Pelan-pelan balon itu mengudara. Ohida tidak ingin balon itu tersangkut lagi di pohon Sakura seperti hari kemarin. Matanya yang cekung tak berkedip demi memastikan balon bergambar seorang perempuan dalam warna merah jingga itu terbang mengudara. Ohida berharap balon miliknya tak hanya sampai di Okinawa atau Tsukudajima atau kempes dan jatuh di danau Suwa.
Tiap hari Ohida melepas satu balon. Sebuah surat ditalikan pada ujung penyumbat udara. Tiap hari pula Ohida melukis wajah seorang perempuan. Kadang, di sela kesibukannya mengurus, Tagawa, cucunya paling cerewet dan suka usil, Ohida merancang gambar seribu perempuan yang akan dilukis esok hari. Hari ini perempuan itu mengenakan Kimono merah bara. Dua supit menancap di rambutnya.
Telah ribuan surat kukirim, kata Ohida, tapi aku tak pernah menerima balasan. Di manakah perempuan itu sekarang. Ohida termenung sambil memandangi samurai yang tergantung di dinding. Dia teringat ketika pertama kali cintanya tertancap pada seorang gadis Jawa, Sumirah.
Semula, Ohida tak begitu mencintai Sumirah. Tapi Samurai berbungkus kulit rusa Jawa inilah yang kemudian menggores hatinya. Pagi itu, di bulan Maret 1944, Ohida memimpin satu regu pasukan PETA. Dia ditugaskan menghadang sekutu yang hendak memasuki pinggiran kota Sakagiri.
"Satu jam lagi Sekutu tiba. Hadang dan hancurkan." Komandan Nomihara berdiri tegak. Matanya nanar. Urat nadinya menegang. Marah. Geram
"Haik. Tap. Tap. Tap."
Pasukan berangkat menuju arah matahari senja. Pada kilometer tiga dari pusat kota, dua lemparan tombak ke arah bukit Sakagiri, desingan mortir menghentikan gerak laju pasukan itu.
"Tiarap!" Ohida meloncat ke parit sawah diikuti yang lain. Ada tidak kurang lima kali dentuman dahsyat meluluh lantakkan radius tujuh lompatan kuda dari tempat mereka sembunyi. Tanah muncrat. Asap mengepul. Satu lagi dentuman mortir mematahkan pohon trembesi.
"Bidik senjata ke arah senja. Tahan. Jangan tembak dulu. Tunggu sampai asap menghilang." Setengah berteriak Ohida memberi perintah sambil tiarap seraya menghapus wajahnya yang kuyup terkena muncratan lumpur sawah.
Sebuah mortir meledak lagi. Kali ini tepat di tengah pasukan. Potongan-potongan tubuh melenting ke udara. Darah menyembur. Terdengar erangan sakit, entah siapa, lalu diam. Ohida memandangi tubuh-tubuh pemuda Jawa itu hancur seperti daging cincang. Bersamaan dengan itu dua tentara sekutu mendekat. Peluru diobral. Lima lagi yang bergelimpangan.
"Nippon keparat." Seorang prajurit sekutu menarik pelatuk. Moncong senapan itu mengarah ke Ohida. Dia tak ingat apa-apa lagi kecuali kilatan samurai memantulkan cahaya senja. Dua tubuh ambruk. Tentara Sekutu itu terpenggal lehernya. Sarpan berlobang kepalanya.
***
Salju tipis. Sebuah pintu rumahnya membukakan pemandangan gunung Fuji. Serombongan bangau melintas, O, Gunung Fuji yang tegak tempat para dewa bersemayam. Ohida menatap Fuji dengan pandangan Merapi (di sanalah dia untuk terakhir kalinya menggenggam tangan Sumirah). Dua hari kemudian Ohida sudah berada di atas dek kapal dengan tangan terikat. Mulutnya disumpal kain.
"Kaisar tak ingin Nippon sejati jatuh cinta dengan perempuan tanah jajahan. Tapi kau melakukan juga, Ohida."
Ohida diam. Bungkam. Tak ada alasan membantah komandan seperti juga tak ada alasan untuk menjelaskan budi baik Sarpan yang menyelamatkan nyawanya. Ohida ingin membalas itu dengan cinta.
Dan butir-butir salju menempel di ranting Sakura. Ohida membayangkan pastilah pegunungan Totomi disaput kabut gelap. Ohida lalu mengambil secarik kertas. Dituliskannnya sebaris puisi tentang burung bangau yang terbang lelah lalu jatuh di kawah Merapi. Tubuhnya gosong. Aroma bulunya yang terbakar dihirup para Dewa.
Dengan langkah gontai Ohida beranjak menuju halaman. Satu balon lagi dilepaskannya. Sebuah amplop terbungkus selendang batik kusam itu pelan-pelan lenyap dari pandangan Ohida. Kini Ohida berharap balon itu akan terbang jauh, jauh sekali menyeberangi samudera luas. Ohida tersenyum. Diraihnya samurai itu lalu pelan-pelan dihunusnya. Samurai yang putih bersih seperti salju. Ohida tersenyum. Salju menetes merah bersamaan kilatan samurai menancap di perutnya. Di ujung samudera surat itu dibaca, entah oleh siapa : untuk Sumirah. (***)
Jogja-Solo, Maret 2002
By Sholihul Hadi
Adik Tiriku Sayang
Marah, kesal, dan jengkel campur jadi satu dalam perasaanku saat ini. Sejak ayahku menikah lagi dengan janda itu setelah bunda meninggal, aku mendapatkan sebuah kejutan yang benar-benar tidak kuharapkan sebelumnya. Yaitu seorang adik tiri.
"Yok, kenalin ini Hafid," kata ayahku memperkenalkanku dengan anak dari ibu baruku. "Yoyok," jawabku ketus.
"Hafid, apa kabar Mas?" balasnya. Aku diam saa, hanya menganggukkan kepala.
"Kalian kan seumur, gimana kalau nanti kalian daftar perguruan tinggi yang sama. Kan enak bisa berangkat bersama-sama," ujar ibu baruku itu.
"Enak aja, kamu pikir nyatuin dua unsur yang berbeda dan bertolak belakang itu gampang apa?" kataku dalam hati, kesal.
"Wah, itu ide yang bagus Ma. Iya kan Mas?" tanya Hafid.
"Tau ah, lihat aja nanti," balasku sambil meninggalkan mereka.
"Yoyok emang gitu. Jangan dimasukkin ke hati ya Fid," nasihat ayah. Hafid hanya mengangguk.
Tak pernah terpikirkan olehku mendapatkan adik tiri yang umurnya nggak jauh beda denganku. Walaupun tua aku sedikit. Tapi, perasaan takut disaingi dan kehilangan orang yang aku cintai sejak bunda tiada selalu menghantuiku siang dan malam.
"Pagi Mas," sapa Hafid ramah, membubarkan lamunanku.
"Pagi," jawabku sambil meninggalkan dia di ruang santai.
"Tunggu Mas, aku mau ngomong sama Mas," lanjut Hafid.
"Ada apa? Cepetan deh, aku nggak punya waktu banyak," sahutku.
"Aku tahu Mas dari awal udah nggak suka sama aku. Tapi aku berusaha baik sama Mas. Coba pikirin lagi deh Mas, kita pura-pura baik aja demi orang tua kita. Biar nggak nambah beban pikiran mereka. Iya kan?" tanyanya lagi .
"Eh, asal kamu tahu aja ya, aku nggak pernah dan nggak akan pernah mau pura-pura baik sama kamu. Baik di depan orang tua kita ataupun di mana aja. Kamu udah ngerebut segala sesuatu yang aku sayangi. Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu, kamu tuh bencana bagi aku," balasku marah. Aku tahu ada tetesan air mata di pipi adik tiriku itu, tapi aku tak peduli.
Setelah kejadian pagi, itu aku tidak pernah menganggapnya walaupun dia masih tetap bersikap baik padaku. Ya say hallo lah, nawarin aku makan lah, dan selalu bawain aku oleh-oleh setiap dia pergi dengan orang tua kami ataupun sendirian. Di depan ayahku atau tidak.
Aku memang nggak pernah mau jalan bareng sama mereka. Aku pikir akan tambah memalukan bila aku jalan bareng dan bertemu orang-orang yang aku kenal. Mau ditaruh mana mukaku?
Sore itu, sepulang dari rumah temanku, kulaju mobilku dengan kecepatan tinggi. Semua amarah yang setiap hari kupendam kulampiaskan pada jalanan itu. Tiba-tiba… brak!
Mobilku menabrak sesorang yang sedang menyeberang jalan. Spontan aku keluar dari mobilku. Kulihat wajah yang berlumuran darah serta barang-barang yang berserakan bagaikan puing-puing kaca pada peristiwa bom di J.W. Marriot. Wajahnya tak asing bagiku. Ya Tuhan! Wajah itu milik adik tiriku.
Entah perasaan senang atau sedih yang kurasakan sekarang. Aku menabrak adik tiriku sendiri. Pikiran ini terus menghantuiku sepanjang dokter memeriksa adikku. Aku memilih tidak memberitahukan kejadian ini kepada ayah dan ibu tiriku karena aku takut. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?
"Anda saudara korban?" tanya dokter kepadaku.
"Ya, saya saudaranya," jawabku gemetar.
"Saudara Anda kehilangan banyak darah. Sedangkan persediaan darah O rumah sakit ini menipis," jelas dokter tersebut.
"Saya…saya O Dok. Ambil saja darah saya," ujarku, masih gemetar.
"Baik, silakan Anda ikut suster ini untuk tes darah," lanjut dokter.
"Baik Dok," jawabku.
Satu jam kemudian. "Saudara Anda sudah sadar dan dia ingin berbicara dengan Yoyok. Anda Yoyok?" tanya dokter tersebut.
"Saya Yoyok, kakaknya, Dok" jawabku. Tanpa sadar aku mengakui dia sebagai adikku.
"Boleh saya menemuinya Dok?" tanyaku.
"Silakan," jawab dokter itu sambil mempersilakan aku masuk.
"Mas Yoyok," lirih suara adikku.
"Jangan banyak ngomong dulu. Kamu masih lemas, istirahat saja dulu," kataku.
"Mas, makasih ya udah repot-repot nolongin saya. Sampai-sampai Mas mau menyumbangkan darah buat saya. Tadi waktu aku keluar dari mal ada mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menabrakku. Sayang aku tidak melihat orang tersebut karena aku pasti akan memakinya. Aku membawakan buku komputer yang Mas cari kemarin. Aku membelikannya tadi. Pasti sekarang buku itu sudah rusak atau hilang. Mas lihat?" katanya dengan suara lirih.
"Ti..tidak Fid. Mas nggak lihat," jawabku. Ternyata dia tidak tahu kalau akulah yang menabraknya. Ya Tuhan maafkan kesalahanku.
"Ya udah, nanti Hafid belikan lagi. Uhuk..uhuk…" sambil batuk dia berkata.
"Tuh kan, Mas udah bilang jangan banyak ngomong dulu. Entar tambah sakit lho," nasihatku.
"Nggak apa-apa kok Mas. Oh ya, mama sama papa mana?" tanyanya.
"Mama sama papa belum aku hubungi. Soalnya aku tadi gugup banget. Nanti deh kuberitahu mereka," balasku.
Tit…tit…tit…
Terdengar suara dari pendeteksi detak jantung persis di sebelah kepala adikku.
"Dokter, tolong Dokter! Ada apa dengan adikku Dokter?" spontan aku berteriak sambil memencet tombol panggilan darurat.
"Maaf Pak. Anda tunggu di luar sebentar," seru salah satu suster yang datang.
"Tidak, aku mau menemani adikku!" jawabku tegas.
"Baiklah, tapi agak menjauh sebentar," kata dokter itu.
Tak lama kemudian…
"Maaf Pak. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi adik bapak sudah menghembuskan nafas terakhirnya," jelas dokter itu.
"Tidaaaakkkkk! Jangan mati Dik. Aku belum minta maaf. Aku…aku bener-bener menyesal. Aku baru sadar kalau kamu anak yang baik. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa adikku sekarang. Ya Tuhan, kembalikan adikku!" teriakku. Maafkan Mas, Fid…
Oleh Donny Maulana, Penulis adalah Mahasiswa Stikom
Nabi Nuh 'Alaihi Salam
Nabi Nuh 'Alaihis Salam menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah saja, namun mereka berpaling. Ia juga memberikan peringatan dengan siksa yang pedih, serta memberikan kabar gembira dengan ganjaran yang besar namun mereka tetap buta dan tidak mau mendengar, lagi menyombongkan diri.
Demikianlah Nabi Nuh 'Alaihis Salam menyeru, memaparkan argumentasi dan bukti-bukti akan kebenaran risalah yang diembannya sehingga berimanlah ke-padanya sebagian kecil dari kaumnya.
Kesabaran Nabi Nuh 'Alaihis Salam Atas Ejekan Kaumnya
Di antara kaum Nabi Nuh 'Alaihis Salam berkata: “Kamu tiada lain adalah manusia seperti kami, dan salah satu di antara kami, kalau Allah menghendaki untuk mengutus seorang rasul, maka pastilah Dia akan mengutus seorang malaikat, dan niscaya kami akan mendengarkan seruannya, memenuhi panggilannya, dan orang-orang yang telah mengikuti kamu tiada lain adalah orang hina, rendahan, dan lemah akalnya tidak dapat membedakan mana yang baik dan tidak matang pikirannya, kalau apa yang engkau bawa adalah baik, pastilah kami telah mendahului mereka, dan apabila yang engkau katakan adalah benar, niscaya kami akan lebih dahulu beriman dan mengikuti petunjukmu!”
Mereka terus-menerus menentang dan tak henti-hentinya mengejek dengan berbagai macam cara dan kata. Dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati Nabi Nuh 'Alaihis Salam menjawab: “Apa pendapat kalian, jika aku benar-benar dalam kebenaran dan telah tampak bukti yang nyata tentang kebenaran apa yang aku bawa, dan Allah telah memberikan rahmat dan keutamaan kepada kami dari-Nya, kemudian hati kalian buta dan tertutup, dan kalian berusaha menghalangi matahari dengan telapak tangan kalian, atau menghancurkan bintang-bintang dengan tangan kalian, apakah saya akan mampu menekan kalian supaya beriman, ataukah saya mempunyai kekuatan untuk memaksa kalian agar menjadi orang beriman?”
Akan tetapi mereka hanya mau beriman jika Nabi Nuh 'Alaihis Salam mau mening-galkan kaumnya yang mereka anggap sebagai orang rendahan dan derajat budak, inipun sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat karena hati mereka memang ingkar. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Nabi Nuh 'Alaihis Salam dan dijawab bahwa sesungguhnya da’wah yang ia bawa adalah da’wah yang menyeluruh untuk semua, sama kedudukan orang yang ternama dengan yang tidak, orang yang kaya dan faqir, pimpinan dan orang yang dipimpin. Selain itu merekalah yang selama ini membantunya berdakwah dan menolong ketika orang-orang memusuhi.
Ketika perdebatan telah memun-cak dan mereka telah bosan serta hati mereka telah merasa sesak, mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancam-kan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. 11:32)
Menjawab tantangan kaumnya, Nabi Nuh 'Alaihis Salam bisa mengatakan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak bisa mendatangkan adzab. Beliau menga-takan: “Wahai kaumku, ketahuilah bahwa tempat kembali segala sesuatu hanyalah kepada Allah, jika Dia menghendaki maka Dia akan mem-berikan petunjuk kepada kalian dan jika Dia menghendaki Dia segera mendatangkan adzab dan menyiksa kalian, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan menangguhkan kalian agar nantinya kalian mendapatkan siksaan yang sangat pedih dan sangat dahsyat.”
Lalu Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengadukan segala kesedihan dan kepedihan yang ia hadapi kepada Allah dan memohon pertolongan dan petunjuk-Nya sehingga Allah mewahyukan kepada-Nya: “Bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman diantara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS. 11: 36)
Wahyu Untuk Membuat Perahu
Ketika Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengetahui dari Allah bahwa Dia telah menetapkan tidak ada yang akan beriman lagi kepadanya dan bahwa Allah telah menutup hati mereka sehingga mereka tidak akan tunduk kepada bukti apapun dan tidak akan beriman, maka habislah kesabaran Nabi Nuh 'Alaihis Salam , dan ia pun berdo’a memohon kepada Allah agar membinasakan orang-orang kafir dari kaumnya dan mengampuni kesalahannya, kedua orang tuanya dan orang-orang yang bersamanya (QS. 71: 26-28).
Lalu Allah mengabulkan do’a Nabi Nuh dan mewahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zhalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. 11:37)
Maka Nabi Nuh 'Alaihis Salam mengambil tempat yang jauh dari kota, dan mulai membuat perahu, akan tetapi dia tidak luput dari olokan dan ejekan kaumnya.
Sebagian mereka berkata: “Wahai Nuh, sebelum ini engkau mengaku bahwa dirimu adalah seorang rasul, lalu bagaimana bisa sekarang engkau menjadi tukang kayu, apakah engkau sudah tidak menjadi nabi atau engkau hendak beralih pekerjaan menjadi tukang kayu?”
Sebagian lain berkata: “Kenapa engkau membuat kapal jauh dari laut dan sungai?Apakah engkau telah menyiapkan sapi untuk menariknya ataukah engkau akan menyuruh angin untuk membawanya?”
Akan tetapi Nabi Nuh berpaling dari ejekan mereka, dan berkata: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagai-mana kalian telah mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal”. (QS. 11: 38-39)
Dia menuju kapal yang sedang dia buat, memperbaiki dan menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menjadi bahtera yang kokoh, dan menunggu apa yang telah dijanjikan oleh Allah, maka Allah mewahyukan kepadanya: “Apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. (QS. 11:40)
Adzab Dari Allah Yang Dijanjikan
Benarlah apa yang diancamkan oleh Allah, seketika saja angkasa dipenuhi awan tebal, lalu langit menurunkan hujan dan bumi mengeluarkan air yang banyak, maka terjadilah banjir besar yang tidak pernah dikira, dan Nabi Nuh 'Alaihis Salam telah berada di bahtera bersama mereka yang telah beriman serta sepasang dari setiap binatang serta mengucapkan: Bismillahi majreha wa mursaha, terkadang bahteranya dibawa oleh angin yang lembut terkadang dengan angin yang kencang. Sementara itu orang-orang yang kafir terus bergelut dengan air bah, mereka berusaha mengalahkan kematian namun kematian mengalahkan mereka, mereka berusaha membanting ombak namun ombaklah yang membanting mereka hingga akhirnya mereka hilang ditelan air dan lenyap dari pandangan, menghilang sebagaimana rahasia yang selalu tersimpan dalam hati. Ombak telah menjadi kuburan bagi mereka sedangkan buih menjadi kain kafannya.
Putra Nabi Nuh 'Alaihis Salam
Dari atas kapal Nabi Nuh melihat putranya Kan’an yang tidak beriman kepadanya sedang berjuang keras melawan ombak dan berusaha untuk berlindung di sebuah gunung, lalu beliau memanggilnya dan mengajak-nya untuk bergabung kepadanya dengan beriman terhadap apa yang dibawanya, beliau berkata: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir”. (QS. 11:42)
Akan tetapi seruan dan ajakan tersebut sama sekali tidak mendapat-kan tempat di hati Kan’an dan dia menyangka bahwa dia akan selamat dari apa yang dihadapinya dan berkata: “Menjauhlah engkau dariku karena aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”
Lalu Nabi Nuh berkata kepadanya sedangkan dia telah dirundung kesedihan dan diliputi oleh kepedihan: “Wahai anakku! Tidak ada yang me-lindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”.
Namun Kan’an tetap keras kepala, nasehat sang ayah yang mencintainya tak digubris, lalu tiba-tiba saja ombak besar menimpa Kan’an dan memisahkan keduanya. Nabi Nuh tidak dapat melihatnya lagi, maka bersedihlah dia lalu menghadap kepada Allah tempat kembali orang yang dirundung duka dan Penolong orang yang kesusahan, dia berkata: “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah bagian dari keluargaku, dan Engkau telah berjanji –dan janji-Mu adalah benar– bahwa Engkau akan menyelamatkanku dan orang-orang yang beriman dari keluargaku dan Engkau adalah seadil-adilnya yang memberi hukuman.”
Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya adalah perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. 11: 46)
Pada saat itulah Nabi Nuh menyadari bahwa rasa kasih sayangnya dan perasaannya telah memalingkannya dari kebenaran, maka dia pun mohon ampun kepada Allah dan perlindungan dari kemurkaan-Nya.
Akhirnya bahtera Nabi Nuh pun berlabuh di atas gunung Judiy, dan dikatakan kepada Nuh: ”Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu’min) dari orang-orang yang bersamamu. “. (QS. 11:48).
Zahwa
Masih lumayan jauh jarak yang harus ditempuh. Dari Yordan Zahwa masih harus lewat jalan darat lagi menuju Gaza, Palestina. Ah, ia sangat rindu pada tanah kelahiran yang telah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya itu! "Proses perdamaian hampir sempurna, anakku," begitu kata Papa Kareem saat menjenguknya di Paris. "Arafat yang sabar, dan simpatik itu dengan dukungan rakyat akan menjadi presiden di tanah merdeka kita," ujar pria setengah abad, pengusaha Palestina sahabat Arafat, sekaligus sosok ayah yang sangat dikaguminya itu.
"Mon Dieu! Tentu saja kau boleh pulang. Tetapi apa kau yakin di sana tak lagi ada tragedi-tragedi kebencian?" tanya Mommy sebulan lalu. Kekhawatiran masih menyelimuti wanita Perancis yang sejak sepuluh tahun lalu tak lagi mau tinggal di Palestina ini. Tetapi tekad Zahwa telah bulat. Ia harus dan kan kembali. Apalagi beberapa waktu lalu ia bertemu langsung dengan Arafat! Ketika itu pemimpin PLO tersebut tengah mengantar Madame Suha istrinya ke boutique milik Mommy. Ya, Zahwa tak akan pernah lupa kata-kata yang diucapkan Arafat padanya waktu itu.
"Anak yang cerdas, Madame. Palestina merdeka membutuhkannya. Saya berharap anak saya yang juga bernama Zahwa kelak akan seperti anda, Mademoiselle!"
Sungguh, Gaza hampir tak berubah. Kota di Tepi Barat sungai Yordan in masih saja kumuh seperti sepuluh tahun lalu, saat Zahwa meninggalkannya untuk menuntut ilmu di Perancis. Hanya saja kini terdapat sejumlah lelaki berseragam dan mengenakan pet coklat. Sambil menyandang senapan AK-47, atau pistol, mereka sibuk mengatur lalu lintas.
"Polisi Palestina!", tebak Zahwa sambil tersenyum. Bagus, pikirnya, telah ada militer resmi di Palestina. "Kini tiap orang tak perlu bersikap radikal seperti HAMAS dengan intifadhahnya," guman Zahwa. "Mereka terlalu Keras dan tak mau menenpuh jalan damai. Mengerikan bila melihat kenekadan mereka selama ini!" cerita Papa Kareem suatu ketika. Zahwa setuju. Ia masih ingat tayangan televisi CNN setahun lalu. Bulu kuduknya meremang mengingat tubuh-tubuh orang Yahudi yang cerai berai ketika bis mereka diledakkan anggota Hamas di tengah kota Tel Aviv.
"Anda mahasiswi politik bukan?" tanya Arafat padanya waktu itu. "Strategi politik yang tepat untuk menghadapi Israel adalah dengan kompromi damai. Tak mengapa hanya Jericho, Jenin dan Gaza yang dikembalikan pada kita. Kita ikuti dulu permainan ini. Kelak berkat kesabaran bahkan Yerusalem akan kembali pada kita!"
Zahwa terus berjalan. Sesekali dara berusia dua puluh dua tahun ini memergoki pandangan menyelidiki dari warga setempat. Ia pernah mendengar bahwa hubungan antar warga di sini sangat baik, dan mereka saling mengenal satu sama lain. Tapi Zahwa merasa bukan orang asing di sini. Atau karena kaos dan jeans belelnya"
"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KKULLUNA SHOLAHUDIN!"
Suara itu begitu bergemuruh! Zalwa terperanjat saat menoleh ke arah datangnya suara!!! Matanya benar2 terbelalak!!
"LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK! KULLUNA YAHYA AYYASH!"
Dibelakangnya terlihat pemandangan luar biasa! Lautan manusia dengan langkah gagah berjalan menuju ke arahnya. Teriakan takbir tiada henti terdengar! Ada apakah?
Zahwa menyingkir. Rasa takut dan takjub bercampur aduk dalam hatinya. Belum pernah ia melihat lautan manusia yang begitu mengelora seperti ini. Dan mereka semuanya bertakbir! Kini rombongan itu melintas di depannya. Zahwa melihat sesosok tubuh berselimut kafan yang dijunjung oleh sekitar delapan lelaki! Lelaki yang lain berjalan paling depan sambil memegang pengeras suara, memimpin yang lain untuk bertakbir dan meneriakkan yel-yel.
'KHAIBAR-KHAIBAR YA YAHUD! JAISYU MUHAMMAD SAUFA YA'UUD!!"
Rasa ingin tahu Zahwa berkecamuk. Mereka? Jelas warga Palestina. Tua muda bahkan kana-kanak. Ya, kanak-kanak! Dan mayat itu? Ya Allah, lautan manusia mengantarnya! Ribuan orang.., ah bukan, tidak, tetapi ratusan ribu orang! Dan dalam setiap lajur jalan, bertambah lagi jumlah para pengantar itu! "Maaf, mayat siapakah itu?" tanya Zahwa pada seorang wanita tua berabaya hitam yang lewat di hadapannya. Wanita itu memandang Zahwa dengan tatapan tajam dan aneh. Mata merahnya yang terlihat garang tampak basah. "Inilah As Syahid Yahya Ayyash! Mujahid berbudi, musuh nomor satu Yahudi sekarang ini!" katanya sambil menangis lagi dan terus berjalan. "Hamas! Hamas!" Hamas!" Serunya mengepalkan tangannya yang keriput sebelum berlalu.
Zahwa tertegun sejenak. Iring-iringan ini bagaikan air yang mengalir tiada henti. Panjang sekali! Dan..Hamas? "Maaf, siapakah yang wafat ini?" tanyanya. Kali ini pada seorang pemuda. Pemuda itu tampak sendu, namun rahangnya memendam kegeramanan dan kebencian! Zahwa agak takut melihat reaksinya! "Apakah kau mencintai tanah ini? Jika ya, tentu kau membenci 80 Yahudi pembuat makar! Kini Mossad membunuh sang Insinyur ini!! Dan pemuda itu pun berlalu begitu saja sambil bertakbir.
Zahwa mulai faham. Ia pernah mendengar julukan 'the Engineer' dalam peristiwa peledakan bus di Tel Aviv. Sang Insinyur adalah julukan dinas keamanan Yahudi untuk dalang peledakan dashyat yang mencoreng muka Mossad dan Shin Bet (Dinas keamanan Yahudi) itu. "Oo, jadi Yahya Ayyash adalah sang Insinyur,' guman Zahwa. Bakat ingin tahunya muncul. Alih-alih bergegas pergi, ia mulai memperhatikan keadaan. Ratusan ribu orang ini tampak mewakili hampir seluruh penduduk Palestina. Bagaimana orang Hamas seprti Yahya Ayyash bisa mempengaruhi mereka? Belum pernah Zahwa melihat atau mendengar kejadian seperti ini. Seorang Palestina yang kepergiannnya diiringin lautan manusia dengan penuh ta'zim!! Luar biasa! Tiba-tiba Zahwa ingin sekali bergabung dalam lautan manusia itu. Hati kecilnya berperang antara godaan rasa ingin tahu dan kerinduan pada keluarganya. Dan...ya, itu ada sepasukan polisi Palestina!!
"Maaf, mayat siapa itu dan apa yang terjadi?" "Yahya Ayyash! Kami tak bisa membendung arus manusia ini!" kata seorang di antar mereka. "Sebenarnya kami diperintahkan untuk menangkap mereka. Tetapi bagaimana mungkin?" jelas seorang opsir yang tampak panik.
Melihat wajah opsri 'panik' itu, Zahwa menghela nafas sambil menahan senyum. Ia rindu papa Kareem Abror. Rasa itu mengalahkan rasa ingin tahunya. Dengan berat hati, Zahwa menyeret langkahnya pulang. Takbir para pengiring jasad Ayyash masih bertalu-talu di telinganya.
Malam harinya Zahwa melihat berita yang dipancarkan stasiun Israel. Dilihatnya di tivi betapa warga Yahudi menari dan bernyanyi atas kematian pemuda berumur dua puluh sembilan tahun itu, seakan kesedihan akibat kematian Rabin sirna seketika. Ketika kemudian papa Kareem pulang, dilihatnya wajah beliau biasa. Tak sedih seperti orang-orang Palestina yang ditemuinya. "Yahya Ayyash adalah anggota Hamas yang kerap berusaha menggagalkan negosiasi perdamaian," begitu komentar papa Kareem. "Tapi..pemandangan yang saya lihat tadi luar biasa. Bila Hamas bukan gerakan rakyat atau minimal mendapat dukungan rakyat..., tak mungkin Yahya Ayyash mendapat penghormatan sehebat itu! Saya...jadi bingung, papa..." Papa Kareem mengangkat bahu. Cuma itu. Zahwa kecewa.
Pemilu perdana Palestina merdeka tak lama lagi. Papa Kareem tampak sangat sibuk. Entah apa yang dikerjakan beliau. Yang jelas papa tampak antusias. "Papa akan membantu dana kampanye. Bila Arafat menjadi presiden, mungkin papa akan menjadi salah satu menteri. Paling tidak anggota parlemen," kata beliau.
"Tapi mengapa warga Gaza banyak yang tak peduli pada Pemilu ini?" tanya Zahwa. "Dari mana kau tahu? Itu tak benar." Zahwa menggaruk kepalanya. "Hampir tiap sore saya keliling dengan mobil pemberian papa itu. Sungguh, tak ada yang mencolok. Bahkan warga Gaza seolah malas membicarakannya." "Sudahlah! Kita menjadi warga negara yang baik saja. Setuju?" Zahwa diam saja, berusaha tersenyum.
Hari in Zahwa kembali berkeliling. Besok sudah pemilu. Dan seperti hari-hari sebelumnya ia hanya melihat kesibukan polisi dan para pegawai Otorita Palestina. Di antaranya menghapus grafiti-grafiti pro Hamas. Heran, hari ini dihapus, besok selalu ada lagi. "Kali ini kami menjaga setiap tembok yang ada semalaman, nona!" ujar mereka ketika disapa. Mobil Zahwa terus melaju..tiba-tiba..CIIIITTTT! Zahwa me-rem mobilnya kuat-kuat. Seorang ibu muda dengan tiga anaknya melintas! Hampir saja! Zahwa segera turun. Dilihatnya ibu muda itu menarik tangan anak-anaknya menjauhi mobil.
"Assalamu'alaikum, maaf ummu!" sapa Zahwa. Wanita berjilbab putih itu menjawab salam. Dan ketika ia akan berlalu...Zahwa tersentak! Wajah itu! Ya Allah! Tak mungkin Zahwa bisa melupakannya.!! "Sarah?" Ibu muda yang dipanggilnya menoleh terkejut. "Ya Allah Sarah.., kau tak ingat padaku?! Aku Zahwa. Temanmu saat di tsanawiyyah Al Birru!"" Sarah terbelalak!" Subhanalloh!" ucapnya. "Zahwa!" Mereka pun berpelukan. "Siapa nama anak-anak ini?" tanya Zahwa. Kini dara Palestina itu baru melihat sosok ketiga anak temannya dengan cermat. Anak yang paling besar sekitar delapan tahun ternyata pincang. Yang lain memiliki luka bakar membekas sekujur tubuh, sememntara anak yang paling kecil dan masih balita..tampaknya...mengalami patah tulang mencolok, sehingga harus selalu digendong! Benar!!
"Yang paling besar Muhammad, yang kedua Hisyam dan adiknya Haikal," Sarah terus tersenyum cerah. "Allahu Akbar, sepuluh tahun lebih kita tak bertemu." "Ya, sampai kini, kau tetap sahabatku yang paling baik. Tak ada temanku yang bisa setulus dan sebaik engkau!" kata Zahwa. Tetapi pikirannya melayang pada ketiga anak-anak itu. Mengapa? Mengapa ketiga anak Sarah ini cacat??! "Ayo ke rumahku, Zahwa!" Tak lama Corolla itu pun melaju menuju rumah Sarah.
Rumah Sarah sederhana namun sejuk, itu yang dirasakan Zahwa ketika pertama melangkahkan kakinya ke rumah Sarah. Tak ada hiasan lain kecuali kaligrafi. "Ini suamimu?" tanya Zahwa saat menatap satu-satunya foto yang ada di ruangan itu. Sarah mengangguk. "Mana dia? Bekerja?" Sarah menggeleng. "Mahmud syahid."
Zahwa bagai disengat listrik!" Polisi Palestina?" Bagaimana mungkin?" "Suamiku mengetahui konspirasi rahasia antara Mossad dan Musa Arafat, kepada polisi Palestina, untuk membunuh Ayyash," tutur Sarah datar. "Ia mencoba memberitahu Ayyash, namun anak buah Musa Arafat menjebak, dan menembaknya mati." Keduanya terdiam. Hening.
Zahwa tenggelam dalam kenyataan yang menyakitkan. Ia sudah memperkirakan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tapi apa yang ia dengar melampaui semua perkiranannya. Sarah tersenyum," Sepuluh tahun kau tak di sini. Negeri ini masih mempertahankan kemuliannya walau para musuh Allah tak henti membuat makar. Perdamaian dan pemilu yang digembar gemborkan itu semu semata." "Tetapi.."
"Zahwa, satu-satunya yang masih dipercaya oleh rakyat hanyalah Hamas! Mungkin selama di Perancis, kau banyak mendengar berita sumbang tentang Hamas. Seolah hamas adalah gerakan teroris yang tak berperikemanusiaan! Percayalah, Zionis Israel-lah yang biadab! Lebih dari yang bisa kita bayangkan! Kau lihat Muhammad, Hisyam dan Haikal? Mereka korban kebiadaban dan kepengecutan pasukan Israel..." "Hah?" Hati Zahwa seperti dihantam palu godam! Sarah berkata dengan lembut namun menggetakan hati "Bukankah Allah berfirman dalam Al Quran, orang-orang yahudi tak akan rela sampai kita mengikuti mereka. yahudi juga suka mengubah perjanjian. Mereka tak mau memberikan kurma untuk kaum muslimin, apalagi sebuah negara! Maha benar Allah!" "Tapi ..PLO, Arafat..berusaha..damai..." "Zahwa, bukankah kau sarjana ilmu politik? Belumkah jelas bagimu bahwa orang yang kau kagumi itu tak lebih hanya perpanjangan tangan Zionis untuk mengkotak-kotak dan menbinasakan kita?" Mereka berdua lalu larut dalam pembicaraan panjang. Zahwa agak terkejut melihat Sarah begitu mengasai berbagai hal tentang Palestina. Tiba-tiba Zahwa resah. Resah sekali!
Saat pulang, ia kemudikan mobilnya dengan lambat. "Media-media dunia selalu berkata jelak tentang Hamas dan mengelukan kebijakan Arafat yang sebenarnya diarahkan Israel dan Amerika itu," kata-kata Sarah tergiang-giang di benaknya, "Apa yang diberitakan tak sesuai dengan kenyataan! Bahkan anakku hanyalah contoh dari banyak korban lainnya!"
Bodohnya aku selama ini! Pikir Sarah. Kesadaran baru mulai mengisi hatinya. Perasaan gusar sendri. Geram! Percuma saja selama ini ia belajar politik tetapi buta terhadap kenyataan politik yang ada. Dan...subhanalloh, ia malu pada Sarah! Ia malu pada Palestina negrinya tercinta karena tak pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi selama ia pergi. Sungguh!
Akhirnya pemilupun tiba. Tak seperti pesta demokrasi pada umumnya, Zahwa merasakan suasana yang lengang. "Jangan lupa untuk datang mengisi kotak suara!" pesan papa Kareem kemarin malang. Tetapi Zahwa hanya berkeliling dengan mobilnya. Pemilu macam apa ini, pikirnya ketika dilihatnya pasukan Israel turut mengawasi jalannya pemilu. Ia bertambah gusar saat mengetahui sebagian besar kandidat berasal dari partai Fatah, yang dipimpin Arafat. Padahal kantor pemilu juga dijalankan oleh orang-orang Fatah. Tidak ada komisi independen seperti yang semestinya terjadi. Zahwa merutuk dalam hati, pemilu macam apa ini! Sore harinya Zahwa tambah terkejut. Kotak suara hilang seusai pemungutan suara! "Di Nablus, ada kandidat independen yang dibunuh polisi Palestina ketika keluar dari kantornya!" kata Sarah sambil menyuapi anak-anaknya makan. "Sesuai skenario bersama AS-Israel, Arafat harus memenangkan Pemilu untuk menjaga proses 'perdamaian'.
Kian lama logika politis seperti it kian mudah difahami oleh Zahwa.
Tiba-tiba....BBBBRRRAAAAKK! BBRRAAKK! Zahwa, Sarah dan ketiga anaknya terkejut! Tiga orang mendobrak pintu! yang seorang berpakaian ala Hamas, berkaos lengan panjang dan mengenakan penutup muka. Dua yang lain mengenakan gamis putih dan sorban! Mereka bersenjata! "Yahudi pengecut! Bahkan harus menyamar untuk menangkapku!" teriak Sarah sinis. Zahwa terperangah. Refleks dipeluknya ketiga anak Sarah yang belum selesai makan itu.
"Ikut kami jika tak ingin bernasib sama dengan Ayyash atau Mahmud!" ujar salah seorang sambil menarik lengan Sarah kasar. Sarah berontak! Meludahi orang-orang itu! Zahwa bergerak ingin membantu. Tapi...bagaimana?
"Bawa anakku pergi! Cepaatt! Cepat Zahwa! Aku akan melawan mereka!" Zahwa bingung! Dilihatnya Sarah memukul, menggigit, menendang orang-orang itu! Dan ketika metanya menangkap kilatan pisau buah dikolong meja, Zahwa segera mengambilnya.
"Simon, angkat anak2 itu!" teriak salah satu yahudi itu. "Kita tembak di depan ibunya..ha..ha..ha..!" Sekuat tenaga Zahwa berusaha melindungi Muhammad, Hisyam dan Haikal! CRESH! Ia berhasil melukai lengan yang bernama Simon! "Ummi! Um..mii.."
Muhammad merangkul adik-adiknya, bersembunyi di balik kursi. "Bajingan semakin terdesak! Kini belasan tusukan menghujamnnya! Sarah terjerembab! Di sampingnya terbunuh pula seorang Yahudi! "Bajingan! Maju! Ayo maju!!" Zahwa histeris. Kedua orang Yahudi itu saling bisik. "Kita tinggalkan. Dia anak Kareem Abroro.." Dan mereka pun beranjak pergi. Terlambat! Dari belakang Zahwa meleparkan pisaunya! Tepat!! Seorang Yahudi lagi roboh! Sementara sisanya melarikan diri!!
Kini di sudut ruangan dilihatnya ketiga anak Sarah menangis berpelukan. "Ummi syahid..., jangan terus..menangis," bujuk Muhammad. Dada Zahwa menggelegak!
Tahukah papa, jumlah rakyat Palestina sekitar 4 juta jiwa. Sejuta di dalam dan 3 juta di luar Palestina. Dari sejuta penduduk itu hanya 48% yang mengikuti pemulu, kebanyakan pengikut Arafat. Jadi wajar bila ia menang 90% suara. Bila dihitung total, presiden Palestina in hanya didukung tak sampai 20% saja dari rakyatnya! Begitu pun diperolehnya dengan banyak..kecurangan." "Apa yang kau bicarakan?"
"Slamat papa, kini papa telah mejadi dewan parleman!" kata Zahwa sinis. Kareem Abror mengernyitkan dahi, memandang anaknya aneh. Dan tiba-tiba...
"Maaf.., tetapi saya akan..bergabung dengan HAMAS." suara Zahwa hampir tersekat di kerongkongan.
"Apa? Zahwa..., kau...mereka bodoh dan gila! Mereka teroris!" "Jangan bodohi saya lagi, papa. Mereka pejuang! Dan bagi pejuang tak ada perdamaian tanpa keadilan! Adilkah namanya bila penjajah Yahudi Israel yang sama sekali tak memiliki hak atas negri ini, disambut bagai pahlawan kalau memberikan kita sepetak Jericho, Gaza dan Jenin!? Perdamaian bodoh. Ini komspirasi internasional terhadap ummat Islam!"
"Keparat! Kurang ajar!" Kareem menampar Zahwa kuat-kuat! "Saya akan bergabung dengan mereka yang tak akan pernah menjual tanah airnya demi apa pun! Maafkan saya!!!" kata Zahwa tegar sambil mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Kareem Abror meludah dan membuang muka. "Pergi! Pergi dan jangan kembali !" katanya garang. Zahwa menatap wajah papa lama. Ia ingin menangis, tetapi kini bukan waktunya. Ya, ia tak akan menangis. Ia hanya perlu bangit dengan tenang dan berlalu dari situ. Muhammad, hisyam dan haikal tentu telah menunggunya. Lengang.
Ada sudut mata kareem yang pedih memandang sosok berabaya hitam berjilbab putih itu dari jauh. "Zahwa, anakku.., kau benar," bisiknya. Maafkan aku ...yang tak pernah sangguuup..."
Bersama Seorang Pemuda Penggali Kubur
Diriwayatkan dari Ibnu Hubaiq : Riwayat dari ayahku yang berkata, Yusuf bin Asbath pernah bertemankan seorang pemuda dari Teluk, yang tidak pernah berbincang-bincang dengannya (Yusuf) selama sepuluh tahun. Akan tetapi, Yusuf mengetahui kerisauan dan kecemasan hati pemuda itu dan juga ketekunannya melakukan ibadat pada siang mahupun malam hari. Kepada pemuda itu Yusuf pernah berkata, "Apa sebenarnya pekerjaanmu dahulu, sehingga aku lihat dirimu selalu tertunduk menangis?" "Dahulu aku adalah seorang penggali kubur," jawabnya. "Apa yang pernah kamu lihat saat berada di liang lahat?" tanya Yusuf meminta penjelasan. "Aku melihat rata-rata muka mereka dipalingkan dari arah kiblat, kecuali beberapa orang saja," kata pemuda itu. "Kecuali beberapa orang saja?" tanya Yusuf dengan penuh heran.
Setelah berkata demikian, Yusuf pun gelisah dan fikirannya tidak tenteram. Oleh itu dia memerlukan ubat untuk menyembuhkan kegelisahannya. Ibnu Hubaiq meneruskan ceritanya, "Ayahku berkata: Kami lalu memanggil doktor Sulaiman untuk mengubati Yusuf. Setelah mendapatkan perawatan yang teratur, Yusuf pun sihat kembali seperti sediakala dan dia pun berkata, "Kecuali hanya sedikit saja!" Yusuf terus-menerus mengucapkan demikian, dan lantaran itu dia mendapatkan perawatan terus agar fikirannya normal kembali. Ketika doktor Sulaiman selesai mengobati dan hendak pulang, Yusuf berkata kepada orang-orang yang menungguinya, "Apa yang mesti kalian berikan kepada doktor itu?"
"Dia tidak mengharapkan apa-apa darimu," jawab kami semua.
"Subhanallah! Kalian telah berani mendatangkan doktor kerajaan, akan tetapi, aku tidak memberikan sesuatu pun kepadanya," kata Yusuf.
"Berikan kepadanya uang beberapa dinar!" kata kami kepada Yusuf.
Ambillah ini dan berikan kepadanya serta tolong beritahukan kepadanya bahawa aku tidak memiliki sesuatu pun, kecuali sekadar ini, agar dia tidak berprasangka bahwa aku ini mempunyai harga diri yang lebih rendah daripada para raja," kata Yusuf.
Yusuf kemudian menyerahkan sebuah kantong berisi uang sebanyak lima belas dinar dan diberikannya kepadaku. Selanjutnya kuserahkan uang tersebut kepada doktor Sulaiman atas pertolongannya kepada Yusuf. Sejak peristiwa itu Yusuf akhirnya tekun menganyam tikar dari daun kurma hingga akhir hayatnya. Dan diriwayatkan dari Hubaiq yang mengatakan: Yusuf bin Asbath pernah berkata, "Dari ayahku, aku mendapatkan harta waris berupa tanah seharga lima ratus dinar yang terletak di daerah Kufah. Akan tetapi, pada akhirnya terjadilah perselisihan di antara saudara-saudaraku, kerana itu aku meminta pendapat kepada Hasan bin Shaleh. Hasan bin Shaleh lalu berkata kepadaku, "Aku tidak ingin kamu terlibat pertentangan dengan mereka, hanya disebabkan masalah tanah yang akan kita masuki kelak." Demikianlah atas saranan Hasan bin Shaleh itu, maka kurelakan tanah itu kepada mereka secara ikhlas kerana Allah SWT semata sebab aku menyedari bahawa diriku adalah bahagian daripada tanah.
WANITA JELATA
Dengan keheranan sang Gubernor bertanya, "Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?"
Janda bermuka buruk itu menjawab, "Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat."
"Maksud engkau?" tanya sang Gubernor mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu."
Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu salat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal."
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernor merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah rauh, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang Gubernor jatuh cinta kepada perempua lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari monyet itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis pikir, bagaimana seorang gubernor bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.
Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernor dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, trmasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernor lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba trdengar bunyi berdenting, pertang ada orang gila yg melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.Gubernor lalu bertanya, "Mengapa kaubanting gelas itu?"
Tanpa takut wanita itu menjawab, "Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurnag lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi."
Gubernor terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
Sebab lainnya?" tanya Gubernor.Wanita itu menjawab, "Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Alquran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan."
Gubernor kian takjub. Demikian pula paran tamunya. "Masih ada sebab lain?"
Perempua itu mengangguk dan berkata, "Ketiga, dengansaya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernornya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya."Maka ketika kemudian Gubernor yang kematian istri itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkab berbalik sangat gembira karena Gubernor memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernornya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.
UMMU SULAIM PERISAI RASULULLAH
Ketika pulang dari perjalanan dari Syam (Syria), Malik menjumpai Ummu Sulaim binti Milhan isterinya telah masuk Islam. Tentu saja dia marah. "Apakah kau sudah berpindah agama?" tanya Malik.
"Tidak, aku tidak berpindah agama. Tetapi aku percaya dengan anak laki-laki ini" jawab isterinya.
Yang dimaksud anak laki-laki itu adalah Anas bin Malik Al Anshary, yang lahir di Madinah pada tahun ke-10 sebelum Hijriyah.Mendengar isterinya mengajarkan syahadat kepada anak lelakinya, Malik yang kafir itu semakin emosi.
Dengan muka merah padam dia membentak isterinya."Jangan kau rusak anakku ini!""Aku tidak merusaknya" jawab isterinya.
Selang beberapa hari, Malik pergi lagi ke Syam. Di sana dia dihadang musuh-musuhnya hingga akhirnya tewas terbunuh. Sejak itu Ummu Sulaim berikrar, "Aku tidak akan menceraikan Anas dari menyusui hingga ia meninggalkannya sendiri. Dan aku tidak akan kawin lagi sebelum dia dapat duduk dan dapat menyuruh aku." katanya.Menanggapi tekad ibunya, Anas selalu berdoa kepada Allah agar berkenan membalas jasa dan amal ibunya.
Sebagai seorang janda, Ummu Sulaim cukup teguh pada pendiriannya. Ketika seorang lelaki, Abu Talkhah datang meminangnya, dia menolaknya. Tekadnya, dia harus berhasil menaklukkan calon suaminya dari musyrik menjadi muslim."Abu Talkhah, Allah mengetahui bahwa aku sungguh cinta kepadamu, namun sayang sekali kau masih kafir, sedang aku ini muslimah. Jika kamu mau memeluk Islam, aku tidak keberatan menerima lamaranmu. Aku tidak akan menuntut emas kawin kecuali keislamanmu itu, tiada yang lain." Katanya.Dengan perasaan malu dan kecewa, Abu
Talkhah meninggalkan Ummu Sulaim karena keberatan masuk Islam. Tetapi karena dia sudah terlanjur cinta, pada kesempatan lain dia datang kembali, namun Ummu Sulaim tetap pantang menyerah.
"Abu Talkhah, apakah anda tidak malu menyembah kayu?" katanya.
Mendengar ucapan itu, Abu Talkhah menjadi sadar dan insaf serta berikrar memeluk Islam seraya mengikrarkan syahadatain.
Mendengar ucapan itu, Ummu Sulaim segera memanggil Anas anaknya. "Wahai Anas, kawinkan Abu Talkhah ini"
Demikianlah, berkat kebijaksanaan Ummu Sulaim, Abu Talkhah memeluk Islam. Bahkan akhirnya di kenal sebagai pembantu dan pendukung Rasulullah yang gagah berani dalam jihad fi sabilillah serta ikut menghadiri bai'at Aqabah.Ummu Sulaim sendiri dikenal sebagai wanita yang ikut terjun langsung dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah. Dialah yang memberi pertolongan kepada para prajurit muslim dengan memberi makanan dan minuman, serta merawat mereka yang terluka. Bahkan bersama Abu Talkhah suaminya, ibu ini pernah bertempur langsung merebut senjata musuh untuk membentengi Rasulullah.
SANG SUFI
Salah seorang anaknya pernah bertanya, `Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?""Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil," jawab sang sufi yang tidak terkenal itu. "Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia Cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah."
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya, "Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?"
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudia anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan, "Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja."
KISAH NABI MUSA DENGAN SEORANG PEZINA
Ada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".
Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia Berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya."
"Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
"Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.
Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya... telah berzina.
"Kepala Nabi Musa terangkat,hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan,
"Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah anak itu lahir,langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.
Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.
Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.
Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?"
"Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.
Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina"
Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.
Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.
Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita penzina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubuilaiik.
Aroma Kasturi Keluar Dari Hidung Jenazah Wanita Saat Dimandikan
Mereka membawanya ke tempat memandikan mayat. Ketika kami meletakkan mayatnya di atas kayu pemandian untuk dimandikan, kami melihat wajahnya ceria dan tersimpul senyuman seakan-akan ia sedang tidur. Di tubuhnya tidak ada cacat, patah dan luka. Dan anehnya (sebagaimana yang dikatakan ummu Ahmad) ketika mereka hendak mengangkatnya untuk menyelesaikan mandinya, keluar benda berwarna putih yang memenuhi ruangan tersebut menjadi harum kasturi. Subhanallah! Benar ini adalah bau kasturi. Kami bertakbir dan berdzikir kepada Allah sehingga anakku yang merupakan sahabat si mayit menangis melihatnya.
Kemudian aku bertanya kepada bibi si mayit tentang keponakannya, bagaimana keadaannya semasa hidup? Ia menjawab, "Sejak mendekati usia baligh, ia tidak pernah meninggalkan sebuah kewajiban, tidak pernah melihat film, sinetron dan musik. Sejak usia tiga belas tahun, ia sudah mulai puasa senin-kamis dan ia pernah berniat secara sosial membantu memandikan mayat. Tetapi ia terlebih dahulu dimandikan sebelum ia memandikan orang lain. Para guru dan teman-temannya mengenang ketakwaannya, akhlaknya dan pergaulannya yang banyak berpengaruh terhadap teman-temannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal."
Aku katakan, "Benarlah perkataan syair,
Detak jantung seseorang berkata kepadanya,
bahwa kehidupan hanya beberapa menit dan detik saja.
Camkanlah itu dalam dirimu sebelum engkau mati,
Seorang insan mengingat umurnya yang hanya sedetik."
Dan perkataan yang lebih baik dari itu adalah firman Allah SWT,
"Dan Allah telah menjadikanku selalu berbakti di manapun aku berada." (Maryam: 31).
Lalu ummu Ahmad melanjutkan ceritanya, Ada lagi jenazah seorang gadis yang berumur 17 tahun. Para wanita memandikannya dan kami melihat jasadnya berwarna putih lalu beberapa saat kemudian berubah menjadi hitam seperti kegelapan malam. Hanya Allah-lah yang mengetahui tentang keadaannya. Kami tidak sanggup bertanya kepada keluarganya, agar kami dapat menyembunyikan aib jenazah. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu.
Kita bermohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.
Wahai saudariku apakah dua kisah ini dapat engkau jadikan sebagai pelajaran? Apakah engkau akan mengikuti jejak orang shalih ataukah engkau menjadikan wanita-wanita fasik dan durhaka sebagai tauladan? Kematian bagaimanakah yang engkau pilih?
Kisah ini dicantumkan dalam Majalah al-Yamamah edisi 1557 tanggal 14 Shafar 1320 H.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad bin Shalih al-Qahthani)
My LDF is My Big Family
Di keluarga ini semuanya berawal. Ada canda dan tawa. Ada tangis dan duka. Ada marah dan kecewa. Ada jutaan hinaan dan cerca. Tapi, keluarga ini memang harus terus tersenyum agar orang lain bisa tetap tersenyum...
Di keluarga ini ada yang datang dan ada juga yang pergi....
-Not Finished Yet......Karena kisahnya baru akan dimulai....
Tariq bin Ziyad : Mengukir Karang dengan Namanya
Satu dari jutaan pengungsi itu adalah Julian, Gubernur Ceuta yang putrinya Florinda telah dinodai Roderick, raja bangsa Gotik. Mereka memohon pada Musa bin Nusair, raja muda Islam di Afrika untuk memerdekakan negeri mereka dari penindasan raja yang lalim itu.Setelah mendapat persetujuan Khalifah, Musa melakukan pengintaian kepantai selatan Spanyol. Bulan Mei tahun 711 Masehi, Tariq bin Ziyad, budak Barbar yang juga mantan pembantu Musa bin Nusair memimpin 12.000 anggota pasukan muslim menyeberangi selat antara Afrika dan daratan Eropa.
Begitu kapal-kapal yang berisi pasukannya mendarat di Eropa, Tariq mengumpulkan mereka di atas sebuah bukit karang, yang dinamai Jabal Tariq (karang Tariq) yang sekarang terkenal dengan nama Jabraltar/Gibraltar. Diatas bukit karang itu Thariq memerintahkan pembakaran kapal-kapal yang telah menyeberangkan mereka.Tentu saja perintah ini membuat prajuritnya keheranan. "Kenapa Anda lakukan ini?" tanya mereka. "Bagaimana kita kembali nanti?" tanya yang lain.
Namun Tariq tetap pada pendiriannya. Dengan gagah berani ia berseru,"Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid." Keberanian dan perkataannya yang luar biasa menggugah Iqbal, seorang penyair Persia, untuk menggubahnya dalam sebuah syair berjudul "Piyam-i Mashriq": "Tatkala Tariq membakar kapal-kapalnya di pantai Andalusia (Spanyol), Prajurit-prajurit mengatakan, tindakannya tidak bijaksana. Bagaimana bisa mereka kembali ke negeri Asal, dan perusakan peralatan adalah bertentangan dengan hukum Islam. Mendengar itu semua, Tariq menghunus pedangnya, dan menyatakan bahwa setiap negeri kepunyaan Allah adalah kampung halaman kita."
Kata-kata Tariq itu bagaikan cambuk yang melecut semangat prajurit muslim yang dipimpinnya. Bala tentara muslim yang berjumlah 12.000orang maju melawan tentara Gotik yang berkekuatan 100.000 tentara. Pasukan Kristen jauh lebih unggul baik dalam jumlah maupun persenjataan. Namun semua itu tak mengecutkan hati pasukan muslim.
Tanggal 19 Juli tahun 711 Masehi, pasukan Islam dan Nasrani bertemu, keduanya berperang di dekat muara sungai Barbate. Pada pertempuran ini, Tariq dan pasukannya berhasil melumpuhkan pasukan Gotik, hingga Raja Roderick tenggelam di sungai itu. Kemenangan Tariq yang luar biasa ini, menjatuhkan semangat orang-orang Spanyol dan semenjak itu mereka tidak berani lagi menghadapi tentara Islam secara terbuka.
Tariq membagi pasukannya menjadi empat kelompok, dan menyebarkan mereka ke Kordoba, Malaga, dan Granada. Sedangkan dia sendiri bersama pasukan utamanya menuju ke Toledo, ibukota Spanyol. Semua kota-kota itu menyerah tanpa perlawanan berarti. Kecepatan gerak dan kehebatan pasukan Tariq berhasil melumpuhkan orang-orang Gotik.
Rakyat Spanyol yang sekian lama tertekan akibat penjajahan bangsa Gotik, mengelu-elukan orang-orang Islam. Selain itu, perilaku Tariq dan orang-orang Islam begitu mulia sehingga mereka disayangi oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkannya.
Salah satu pertempuran paling seru terjadi di Ecija, yang membawa kemenangan bagi pasukan Tariq. Dalam pertempuran ini, Musa bin Nusair, atasannya, sang raja muda Islam di Afrika ikut bergabung dengannya.
Selanjutnya, kedua jenderal itu bergerak maju terus berdampingan dan dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun seluruh dataran Spanyoljatuh ke tangan Islam. Portugis ditaklukkan pula beberapa tahun kemudian.
"Ini merupakan perjuangan utama yang terakhir dan paling sensasional bagi bangsa Arab itu," tulis Phillip K.Hitti, "dan membawa masuknya wilayah Eropa yang paling luas yang belum pernah mereka peroleh sebelumnya ke dalam kekuasaan Islam.
Kecepatan pelaksanaan dan kesempurnaan keberhasilan operasi ke Spanyol ini telah mendapat tempat yang unik di dalam sejarah peperangan abad pertengahan."
Penaklukkan Spanyol oleh orang-orang Islam mendorong timbulnya revolusi sosial di mana kebebasan beragama benar-benar diakui. Ketidaktoleranan dan penganiayaan yang biasa dilakukan orang-orang Kristen, digantikan oleh toleransi yang tinggi dan kebaikan hati yang luar biasa.
Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga jika tentara Islam yang melakukan kekerasan akan dikenakan hukuman berat. Tidak ada harta benda atau tanah milik rakyat yang disita. Orang-orang Islam memperkenalkan sistem perpajakan yang sangat jitu yang dengan cepat membawa kemakmuran di semenanjung itu dan menjadikan negeri teladan di Barat. Orang-orang Kristen dibiarkan memiliki hakim sendiri untuk memutuskan perkara-perkara mereka. Semua komunitas mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan umum.
Pemerintahan Islam yang baik dan bijaksana ini membawa efek luar biasa. Orang-orang Kristen termasuk pendeta-pendetanya yang pada mulanya meninggalkan rumah mereka dalam keadaan ketakutan, kembali pulang dan menjalani hidup yang bahagia dan makmur. Seorang penulis Kristen terkenal menulis: "Muslim-muslim Arab itu mengorganisir kerajaan Kordoba yang baik adalah sebuah keajaiban Abad Pertengahan,mereka mengenalkan obor pengetahuan dan peradaban, kecemerlangan dan keistimewaan kepada dunia Barat. Dan saat itu Eropa sedang dalam kondisi percekcokan dan kebodohan yang biadab."
Tariq bermaksud menaklukkan seluruh Eropa, tapi Allah menentukan lain. Saat merencanakan penyerbuan ke Eropa, datang panggilan dari Khalifah untuk pergi ke Damaskus. Dengan disiplin dan kepatuhan tinggi, Tariq memenuhi panggilan Khalifah dan berusaha tiba seawal mungkin di Damaskus. Tak lama kemudian, Tariq wafat di sana. Budak Barbar, penakluk Spanyol, wilayah Islam terbesar di Eropa yang selama delapan abad di bawah kekuasaan Islam telah memenuhi panggilan Rabbnya. Semoga Allah merahmatinya.
Tamat...
Aku Ingin Berjuang
Adakah jalan yang lebih afdol dan lebih mulia dari jihad fisabilillah..? Rasa-rasanya tak ada. Sebab itulah satu-satunya jalan jika memang benar-benar telah menjadi tujuan dan niat suci untuk mencari restu dn ridho Allah SWT. "Demi Allah, inilah satu kesempatan yang sangat baik", kata hati pemuda itu. Yah,.....sebab disana, serombongan kaum muslimin sedang bersiap menuju juang jihad fisabilillah. Sebagian sudah berangkat, sebagian lagi baru datang, dan akan segera berangkat. Semuanya menampakan wajah yang senang, pasrah, dan tenang dengan satu iman yang mendalam. Wajah-wajah mereka membayangkan suatu keyakinan penuh, bahwa sebelum ajal berpantang mati. Maut akan menimpa diman pun kita berada. yakin bahwa umur itu satu. Kapan kan sampai batasnya, hanya Allah yang maha tahu. Bagaimana sebab dan kejadianya, takdir Allah lah yang menentukan.
Maut, adalah sesuatu yang tak dapat dihindari manusia. Dia pasti datang menjemput manusia. Entah disaat manusia sedang duduk, diam di rumah, atau mungkin berada dalam perlindungan benteng yang kokoh, mungkin pula sedang bersembunyi ditempat persembunyiannya, di gua yang gelap, di jalan raya yang ramai, ataukah di medan peperangan. Bahkan bukan mustahil maut akan menjemput kala manusia sedang tidur, di atas temapt tidurnya. Semua itu hanya Allah lah yang berkuasa, dan berkehendak atasnya.
Menunggu kedatangan maut memang masa-masa yang paling mendebarkan jiwa. Betapa tidak? Hanya sendirilah yang dapat dibawa menghadap penguasa yang Esa kelak. Medan juang fisabillah tersedia bagi mereka yang kuat. Penuh keberanian dan keikhlasan mencari ridho Allah semata. Mereka yang berjiwa suci ditengah-tengah tubuh yang perkasa. Angan-angan ikhlas yang disertai hati yang bersih. Memang, saat itu keberanian telah menjiwai setiap kalbu kaum muslimin. Panggilan dan dengungan untuk jihad fisabilillah merupakan angan-angan dan tujuan harapan mereka. Mereka yakin, dibalik hiruk-pikuknya peperangan Allah telah menjanjikan imbalan yang setimpal baginya. Selain dengan itu dia dapat membersihkan jiwanya dari berbagi noda. Baik itu berupa noda-noda aqidah, niat-niat jahat, berbagi dosa perbuatan ataupun kekotoran muamalah yang lain. Pengorbanan mereka yang mulia itu menunjukan kepribadian yang baik dan luhur. Semua sesuai dengan ajaran agama yang murni. Pantas menjadi contoh dan teladan, bahkan sebagai mercu suar yang menerangi dunia dan isi alam semesta.
Itulah renungan hati pemuda Aslam yang gagah itu. Sepenuh hati dia berkata seolah kepada diri sendiri. "Harus ! harus dan mesti aku berbut sesuatu. Jangan kemiskinan dan kefakiran ini menjadi hamabtan dan penghalang mencapai tujuanku."
Mantap, penuh keyakinan dan semangat yang tinggi pemuda tersebut ini menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Usia pemuda itu memang masih belia, namun cara berfikir dan jiwanya cukup matang, kemauanya keras, ketangksan dan kelincahan menjadi jaminan kegesitanya di medan juang. Namun mengapa pemuda yang begitu bersemangat itu tak dapat ikut serta dalam barisan pejuan? Seababnya hanya satu. Dia tidak mempunyai bekal dan senjata apa-apa yang dapat dipakainya untuk berperang karena kemiskinan dan kefakiranya. Sebab pikirnya, tidak mungkin untuk terjuan ke medan perjuangan tanpa senjata apapun. Tanpa senjata dia tidak mampu melakukan apapun. Bahkan dia tidak akan berfungsi apa-apa. Mungkin untuk menyelamatkan diri saja, dia tidak mampu. Inilah yang menjadikan pemuda itu berfikir panjang lebar. Otaknya bekerja keras agar hasratnya yang besar berjuang dapat tercapai.
Setelah tidak juga dicapainya pemecahan, dia pergi menghadap Rasulullah SAW. Diceritakan semua keadaan dan penderitaan serta keinginannya yang besar. Dia memang miskin, fakir dan menderita, namun dia tidk mengharapkan apa-apa dari keikutsertaanya berjaung. Dikatakanya kepada Rasulullah SAW, bahwa dia tidak meminta berbagai pendekatan duniawi kepada Rasulullah; Dia hanya menginginkan bagaimana caranya agar dia dapat masuk barisan pejuang fisabilillah. Mendengar hal demikian, Rasulullah bertanya, setelah dengan cermat meneliti dan memandang pemuda tersebut: "Hai pemuda, sebenarnya apa yang engkau katakan itu dan apa pula yang engkau harapkan?".
"Saya ingin berjuang, ya Rasulullah!" jawab pemuda itu. "Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukan itu", tanya Rasulullah SAW kemudian. "Saya tidk mempunyai perbekalan apa-apa untuk persiapan perjaungan itu ya Rasulullah", jawab pemuda tersebut terus terang. Alangkah tercengangnya Rasulullah mendengar jawaban itu. Cermat diawasinya wajah pemuda tersebut. Wajah yang berseri-seri, tanpa ragu dan penuh keberanian menghadap maut, sementara disana banyak kaum munafikin yang hatinya takut dan gentar apabila terdengar panggilan seruan untuk berjaung jihad fisabilillah.
Demi Allah! jauh benar perbedaan pemuda itu dengan para munafiqin di sana. Kaum munafiqin yang dihinggapi rasa rendah diri, selalu mementingkan diri-sendiri. Mereka tidak suka dan tidak mau memikul beban dan tanggung jawab demi kebenaran yang hakiki. Kaum yang tidak senang hidup dalam alam kedamaian dan ketentraman dlam ajaran agama yang benar. Mereka lebih suka berada dalam hidup dan suasana kegelapan dan kekalutan. Ibarat kuman-kuman kotor, yang hidupnya hanya untuk mengacau dan menghancurkan apa saja. Celakalah mereka yang besar dan tegap badan serta tubuhnya namun licik dan kerdil pikiran serta hatinya.
Kebanggaanlah bagimu yang tepat hai pemuda! semogalah Allah banyak menciptakan manusia-manusia sepertimu. Yang dapat menjadi generasi penerusmu. Yang akan menjunjung tinggi kemulyaan Islam, budi pekerti yang mulia menuju alam yang bahagia sejahtera lahir batin.
Benar, kaum muslimin sangat memrlukan jiwa yang demikian. Jiwa yang besar penuh keyakinan, dan juga keberanian yang mantap. Sepantasnya pemuda seperti dari kabilah Aslam itu mendapat segala keperluan serta keinginanya untuk melaksanakan hasrat cita-cita keinginan itu. Rasulullah SAW akhirnya berkata kepada pemuda Aslam tersebut: "Pergilah engkau kepada si Fulan! Dia yang sebenarnya sudah siap lengkap dengan perlatan berperang tapi tidak jadi berangkat karena sakit. Nah pergilah kepadanya dan mintalah perlengkapan yang ada padanya."
Pemuda itu pun bergegas menemui orang yang ditunjukan Rasulullah SAW tadi. Katanya kepada si Fulan: "Rasulullah SAW menyampaikan salam padamu juga pesan. Beliau berpesan agar perlengkapan perang yang engkau miliki yang tidak jadi engkau pakai pergi berperang agar diserahkan kepadaku." Orang yang tidak jadi berperang itu penuh hormat menjalankan perintah Rasulullah SAW sambil mengucapkan: "Selamat datang wahai utusan Rasulullah! Saya hormati dan taati segala perintah Rasulullah SAW."
Segera dia menyuruh istrinya untuk mengambil pakaian dan peralatan perang yang tidak jadi dipakainya. Diserahkan semua itu pada pemuda kabilah Aslam. Sambil mengucapkan terima kasih pemuda tersebut menerima perlengkapan itu. Sebelum dia berangkat dan meninggalkan rumah itu, pemuda tersebut sempat berucap: "Terima kasih sebesar-besarnya. Anda telah menghilangkan seluruh duka dan keputusasaanku. Bagimu pahala Allah yang besar tiada taranya. Terima kasih.........Terima kasih."
Pemuda suku Aslam itu kemudian keluar dengan riang. Wajahnya bersinar gembira. Dengan berlari-lari dia meningalkan rumah orang yang tidak jadi berperang itu. Di tengah jalan pemuda tersebut bertemu dengan salah satu temanya yang keheranan dan bengong. Tanyanya: "Hai, hendak kemana engkau?", "Aku akan menuju janntul firdaus yang selebar langit dan bumi", jawab pemuda itu dengan singkat dan tepat.
Oleh : Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Blog-ku Sayang Blog-ku Malang
Sekian lama...( lirik sebuah lagu. Sorry nggak apal liriknya...)
Lirik lagu diatas kayaknya cocok banget buat gambarin keadaan blog-ku yang satu ini. Maklum...Blog yang ane pelihara ( pelihara ??? Binatang kali ya...)bukan cuma satu ini.
Ya...Beginilah keadaan blog ku yang satu ini agak sedikit terabaikan. Banyaknya kegiatan membuat ane harus menentukan pilihan. Meneruskan nafas perjuangan blog ini atau membiarkannya tergeletak tanpa sentuhan.
Tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya bukan karena kesibukan perkuliahan maupun kegiatan organisasi. Namun, mungkin lebih tepatnya males ngurusin blog yang satu ini. Paling klu update blog cuma blog yang satu lagi ( Download Ebook ). Mungkin karna blog yang satu lagi itu lebih banyak dikunjungin orang, jadinya lebih bergairah buat update itu blog ketimbang blog yang ini.
Mudah-mudahan buat selanjutnya ane nggak nelantarin blog ini lagi. Bisa-bisa blog ini nuntut ke pihak yang berwenang ( Yang berwenang siapa ya ??? ) karna nggak pernah diperhatiin.
Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 2
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
'Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
"Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Gita akhwat atau bukan ? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "
kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya' Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster ? Dokter ? Ma ?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan ?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan ! Selamat jalan Mas Gagah !