EBOOK, BOOKS, FREE DDOWNLOAD E-BOOK, DOWNLOAD GRATIS, NOVEL AGATHA CHRISTIE, EBOOKS BISNIS
KESABARAN RASULULLAH TERHADAP IMING-IMING DAN ANCAMAN
Pada suatu hari para tokoh (pembesar) Quraisy mendatangi Abu Thalib, mereka berkata kepadanya: Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang kami tokohkan, dan engkau memiliki kemuliaan dan kedudukan di kaum kami, kami telah memintamu agar engkau melarang keponakanmu tetapi engkau tidak melarangnya, demi Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami tidak sabar atas hal ini; nenek moyang kami dicela, kaum cerdik kami dibodohkan, dan tuhan-tuhan kami dicemoohkan. Engkau lakukan permintaan kami, ataukah kami yang akan mencegah perbuatan keponakanmu itu, atau bahkan kami umumkan perang sedang engkau masih tetap dalam kebisuanmu (tidak mau bertindak), hingga salah satu dari dua kubu itu menemui kehancuran.
Ancaman dan peringatan keras dari tokoh-tokoh Quraisy ini terasa berat membebani benak Abu Thalib, dia masih keberatan jika berpisah dengan kaumnya dan bermusuhan dengan mereka, sedang¬kan dia juga tidak mau menyerahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam keponakannya kepada mereka, dan dia juga tidak rela jika keponakannya dihinakan dan direndahkan. Akhirnya dia menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata kepadanya: "Wahai keponakanku, sesungguhnya kaummu telah menda¬tangiku dan memberitahukan kepadaku tentang hal ini dan itu, juga meminta kepadaku agar aku berbuat ini dan itu, maka sekarang cukuplah kita dengan apa yang selama ini aku dan dirimu meyakininya. Janganlah engkau membebaniku dengan perkara yang aku tidak kuat memikulnya begitu juga engkau, maka tariklah perkataanmu tentang kaummu yang mana hal itu sangat dibenci oleh mereka".
Tetapi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tetap kokoh di atas dakwahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak sedikitpun dipengaruhi oleh celaan orang yang mencela, karena beliau di atas kebenaran, dan beliau tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meno¬long agama-Nya dan meninggikan agama-Nya.
Maka tatkala Abu Thalib melihat keteguhan keponakannya yang begitu kokoh, dan dia telah putus asa membujuknya agar memenuhi permintaan kaum Quraisy untuk meninggalkan dakwahnya mengajak manusia kepada tauhid, dia berkata: "Demi Allah, tidak akan mengenaimu makar-makar mereka hingga aku tertimbun tanah dan rata dengan debu. Maka teruskanlah urusan dakwahmu jangan sedikitpun merasa rendah diri. Berilah kabar gembira dan sejukkan dengan beritamu itu beberapa pandangan mata"
Sumber: Muqawwimat ad-Da'iyat an-Najih Fi Dhau'i al-Kitab wa as-Sunnah Mafhumun wa Nadharun wa Tathbiqun
KELALAIAN
Namun suara yang diiringi dengan kekhusyuan itu mem¬buatku terdiam sesaat. .. Aku memutar kembali kaset itu untuk ketiga kalinya ..
Saudariku adalah profil seorang wanita da'i yang ber¬sungguh-sungguh. Ia telah berusaha mengubah diriku men¬jadi orang yang selalu memelihara shalat, untuk selalu berbuat taat. Ia berusaha semaksimal mungkin, melalui kata-¬kata, melalui kaset dan melalui buku-buku.
Suatu hari, ketika dia sedang mengendarai mobil bersa¬maku, kami terlibat pembicaraan. Ketika kami hendak turun, saudariku itu meletakkan kaset ini ke dalam Tape Recorder.
Keesokan harinya, aku keluar rumah dengan santai, tanpa perasaan apa-apa. Dengan sembarangan aku menekan tom¬bol tape, tanpa ingat kaset apa yang terdapat di dalamnya. Seperti biasanya, aku membayangkan suara lagu yang aku sukai. Akan tetapi sudah menjadi takdir Allah, yang ada dalam tape itu ternyata adalah kaset tersebut. Aku mendengarkannya pada pagi hari, lalu kuulangi lagi pada sore harinya, dan juga sesudah Isya'.
Aku bertanya: "Kaset apa yang engkau letakkan di sini?"
Saudariku balik bertanya: "Apakah engkau tertarik?" "Tentu saja." Jawabku. Tak seperti biasanya, ia menyambut ucapan¬ku dengan suka cita. Ia tampak begitu gembira. Di tangan-nya terdapat buku, lalu diletakkan di sampingnya. Ia kembali mengulangi pertanyaannya: "Apakah engkau betul-betul tertarik dengan suara dan bacaan imam itu?" "Sungguh, aku tertarik." Jawabku lagi.
Jawabanku itu menjadi pembuka percakapan kami yang panjang. Perbincangan semacam itu berulang beberapa kali. Namun kali ini, sungguh jauh berbeda. Di akhir perbin¬cangan, saudariku berkata:
"Saya akan bacakan kepadamu yang baru saja kubaca: "Suatu hari, Hasan Al-Bashri lewat di hadapan seorang pe¬muda yang tenggelam dalam tawanya, ketika ia duduk bersama teman-temannya. Hasan berkata kepadanya: "Wa¬hai pemuda! Pernahkah engkau melewati Ash-Shiraat?" Sang pemuda menjawab: "Belum." Beliau bertanya lagi: "Apakah engkau tahu, sedang berjalan menuju Surga atau Neraka?" "Tidak." Jawab pemuda itu lagi. "Lalu apa arti tawamu itu?" Tanya beliau lagi.
Sejenak kami terdiam. Kemudian saudariku itu mene¬ngok ke arahku, seraya berkata: "Sampai kapankah kelalaian ini akan terus berlangsung?"
KEIKHLASAN ALI BIN AL-HUSAIN
Dari Abu Hamzah ats-Tsumali diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “dahulu Ali bin al-Husain biasa memanggul karung (makanan) setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari Amru bin Tsabit berkata, “Tatkala Ali bin al-Husain meninggal dunia dan orang-orang memandikannya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam dipunggungnya. Mereka lantas berkata, ‘Apa ini’ Sebagian mereka menjawab, ‘Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di madinah’.”
Dari Ibnu Aisyah berkata, Ayahku pernah berkata, “Aku pernah mendengar penduduk Madinah menyatakan, ‘Kami terus menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga meninggalnya Ali bin al-Husain’.”
Sumber: Aina nahnu min akhlaq as salaf
JANDA JELATA
Sudah setengah jam saya tunggu yang lainnya tidak ada yang datang lagi. Jadi saya tanya, "Masih ada yang ditunggu Nek?"Nenek itu menggeleng, "Tidak ada, Ustaz. Yang saya undang hanya lima orang, termasuk Ustaz. Maklum, tempatnya sempit."
Saya tersentuh. Orang kecil ini masih juga ingin mengadakan syukuran kepada Allah dalam ketidakberdayaannya, sementara banyak orang lain yang rumahnya besar-besar tidak pernah diinjak tetangganya untuk selamatan."Apa tujuan syukuran ini, Nek?" saya bertanya pula." Begini, Ustaz," jawab si nenek. "Saya bersyukur kepada Allah karena sejak bulan depan saya bisa mengontrak kamar ini, sebulan tiga ribu rupiah. Tadinya tuan rumah menolak, tidak mau menerima uang saya. Tapi akhirnya ia tidak keberatan, sehingga utang budi saya tidak terlalu berat."
Masya Allah. Alangkah mulianya hati nenek itu. Ia yang sebetulnya masih perlu disedekahi, tidak mau membebani orang lain tanpa imbalan. Dan alangkah mulianya pula si tuan rumah yang tidak mau mengecewakan hati seoang nenek yang ingin terbebas dari perasaan bergantung pada orang lain.
Oleh KH. A Arroisi
JAMIL BUTSAINAH
Az-Zubair bin Bakkar telah meriwayatkan dari Abbas bin Sahl as-Sa'idi bahwa menemui Jamil menjelang wafatnya. Saat itu Jamil bertanya kepadanya, "Wahai saudaraku, apa pendapatmu tentang seseorang yang belum pernah minum khamr sedikitpun. Ia pun tidak berzina ataupun mencuri dan tidak pernah membunuh sesama. Ia benar-benar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" Abbas bin Sahl menjawab, "saya kira orang itu akan selamat dari siksa neraka dan saya berharap ia masuk ke dalam surga. Siapakah orang itu, wahai Jamil?" tanya Abbas. Jamil menjawab, "Akulah orangnya." Abbas terperangah mendengar jawaban Jamil, lalu katanya lagi, "Allahu Akbar!
Sungguh saya sama sekali tidak mengira kalau engkau tidak pernah melakukan itu semua. Bukankah engkau selama dua puluh tahun banyak melukiskan tentang keindahan tubuh wanita, seperti Yatsinah, dalam syair-syairmu?" Jamil menjawab, "Biarlah aku tidak mendapatkan syafa'at dari Nabi Muhammad saw. Di akhirat kelak seandainya aku pernah meletakkan tanganku pada diri beliau dengan sesuatu yang meragukan. Sesungguhnya kini aku berada pada hari pertama dari hari-hari akhirat dan hari terakhir dari kehidupan dunia." jawab Jamil dengan sunguh-sungguh. Dan tak lama kemudian ia pun wafat.
Isra Bersama Rasulullah
Kemudian ia naik bersamaku ke langit yang pertama. Jibril meminta dibukakan pintu. Lalu (malaikat penjaga langit pertama) bertanya, `Siapakah kamu.' Jibril a.s. menjawab, `Jibril.' Kemudian ia ditanya lagi, `Siapakah yang besertamu?' Jibril a.s. menjawab, `Muhammad.' Malaikat itu bertanya, `Apakah kamu diutus?' Jibril menjawab, `Ya, aku diutus.' Lalu pintu langit dibukakan untuk kami. Ternyata aku bertemu dengan Nabi Adam a.s. Ia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Setelah itu Jibril a.s. naik bersamaku kelangit yang kedua dan meminta dibukakan pintu. Lalu pintu langit kedua dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan dua putra paman Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria a.s., keduanya menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Lalu Jibril a.s. naik bersamaku ke langit yang ketiga dan meminta dibukakan pintu langit ketiga. Lalu pintu langit ketiga dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Yusuf a.s. yang telah dianugerahi sebagian nikmat ketampanan. Ia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Kemudian Jibril a.s. naik bersamaku kelangit keempat dan meminta dibukakan pintu langit keempat. Lalu pintu langit keempat dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Idris a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Allah SWT berfirman, `Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.'
Setelah itu Jibril a.s. kembali naik bersamaku kelangit yang kelima dan meminta dibukakan pintu langit kelima. Lalu ia membukakan pintu langit yang kelima untuk kami, Di sana aku bertemu dengan Harun a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Malaikat Jibril a.s. kembali naik bersamaku ke langit yang keenam dan meminta dibukakan pintu untuk kami. Lalu ia membukakan pintu keenam untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Musa a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Lalu Jibril a.s. naik lagi bersamaku ke langit yang ketujuh dan meminta dibukakan pintu langit ketujuh. Kemudian malaikat penjaga pintu langit ketujuh membukakan pintu untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Ibrahim a.s. yang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma'mur yang setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat dan tidak kembali kepadanya -sebelum menyelesaikan urusannya.
Setelah itu, ia pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata, daun-daunnya sebesar kuping gajah dan buah-buahannya menyerupai buah anggur. Begitu perintah Allah SWT menyelubunginya dan menyelubungi apa-apa yang akan diselubungi, ia segera berubah. Tidak ada seorang makhluk Allah pun yang mampu menyifati keindahan dan keelokannya. Lalu Allah Maha Agung mewahyukan apa-apa yang akan diwahyukan-Nya kepadaku dan mewajibkanku untuk mendirikan shalat lima puluh kali setiap hari sehari semalam. Setelah itu, aku turun menemui Musa a.s.. Ia bertanya kepadaku, `Apakah gerangan yang telah diwajibkan Allah SWT atas umatmu.' Aku menjawab,' Mendirikan shalat sebanyak lima puluh kali.' Kemudian ia berkata, `Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah kepada-Nya keringanan. Sesungguhnya umatmu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Sesungguhnya aku telah berpengalaman mencobanya kepada Bani Israel.' Beliau melanjutkan sabdanya, `Kemudian aku kembali kepada Rabb-ku dan memohon, `Wahai Rabb, berikanlah keringan untuk umatku.' Dan Ia mengurangi menjadi lima kali. Setelah itu, aku kembali menemui Musa a.s. dan kukatakan kepadanya, `Ia telah mengurangi menjadi lima kali.' Namun Musa a.s. kembali berkata, `Sesungguhnya umatmu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Karena itu kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan.' Lalu aku bolak-balik bertemu antara Rabb-ku Yang Maha Tinggi dengan Musa a.s.. Lalu Dia berfirman, `Wahai Muhammad, sesungguhnya kelima shalat itu dilaksanakan setiap sehari semalam. Setiap shalat dihitung sepuluh yang berarti berjumlah lima puluh shalat. Barang siapa yang ingin melakukan suatu kebaikan kemudian tidak melaksanakannya, maka Ku-tuliskan untuknya satu kebaikan. Dan jika ia mengerjakannya, maka Ku-tuliskan untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa ingin melakukan kejelekan kemudian tidak melakukannya, maka Aku tidak menulis apa-apa padanya. Dan jika ia mengerjakannya, maka Aku menuliskannya satu kejelekan.' Beliau kembali melanjutkan sabdanya, `Lalu aku turun hingga sampai kepada Musa a.s. dan memberitahukan hal tersebut. Musa a.s. berkata, `Kembalilah kepada Rabb-mu dan memohonlah keringanan.' Saat itu Rasulullah saw. bersabda, `Aku katakan kepadanya, `Aku telah berulang kali kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepada-Nya.'"
IBRAHIM DAN ISMAIL MENINGGIKAN BAITULLAH
Diriwayatkan dari al-Bukhari rahimanullah dalam kitab Shahih-nya, dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Wanita pertama yang membuat ikat pinggang ialah ibunya Ismail. Dia membuatnya untuk (mengikat pakaian agar terjuntai ke tanah) agar menutupi jejak kakinya sehingga tak diketahui oleh Sarah. Kemudian Ibrahim membawa istri dan anaknya Ismail yang masih disusuinya. Ibrahim menempatkan istrinya dekat Baitullah di sisi pohon Dauhah, pada bagian atas sumur Zamzam dan Masjidil Haram menurut perkiraan sekarang.
Pada saat itu di Mekkah belum ada segelintir manusia pun dan tiada air. Ibrahim menempatkan keduanya di sana berikut sebuah tempat makanan berisi kurma dan tempat yang berisi air. Kemudian Ibrahim pun berlalu. Maka ibu Ismail mengikutinya sambil berkata, `Hai Ibrahim, hendak kemana? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun.' Ibu Ismail memberondongnya dengan pertanyaan itu beberapa kali. Namun, Ibrahim tidak meliriknya. Ibu Ismail bertanya, `Apakah Allah telah menyuruhmu berbuat demikian?' Ibrahim menjawab, `Benar.' Ibu Ismail berkata, `Jika demikian, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.' Kemudian, Ibu Ismail pun kembali ke tempat semula. Ibrahim melanjutkan langkahnya hingga sampai di Tsaniah di tempat istri dan anaknya tidak lagi dapat melihatnya.
Dia menghadapkan wajahnya ke Baitullah seraya mengangkat kedua tangannya sambil berdoa demikian, `Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi Rumah-Mu yang suci….mudah-mudahan mereka berterima kasih.' Kemudian ibu Ismail menyusui anaknya dan dia minum dari tempat persediaan air. Setelah air itu tandas, maka dia kehausan, demikian pula anaknya. Dia memperhatikan anaknya yang berguling-guling kehausan. Dia melengos karena tidak tega melihat anknya demikian. Maka dilihatnya bukit Shafa sebagai tempat yang paling dekat darinya. Dia berdiri di puncaknya sambil megarahkan pandangannya ke lembah dengan harapan melihat seseorang. Namun, dia tidak melihat seorangpun. Kemudian, dia turun dari Shafa. Ketika dia tiba di lembah, dia menyingsingkan kainnya lalu berjalan seperti orang tergesa-gesa hingga melintasi lembah tersebut. Kemudian dia menuju Marwah, lalu berdiri dipuncaknya dengan harapan dapat melihat seseorang. Tetapi dia tidak melihat seorang pun. Dia melakukan perbuatan demikian sebanyak tujuh kali."Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Oleh karena itulah maka manusia bersa'i antara keduanya.""Ketika dia hampir tiba di Marwah, dia mendengar sebuah suara. Dia berkata, `Diam!' Maksudnya menenteramkan diri sendiri. Lalu dia mendengar lagi suara. Dia berkata, `Engkau telah memperdengarkan suara. Apakah kamu dapat menolong?' Tiba-tiba dia melihat malaikat dekat tempat bakal sumur Zamzam. Malaikat menggali tanah dengan tumitnya atau dengan sayapnya sehingga muncullah air. Maka Dia mulai membendung air dengan tangannya begini….Dia menciduk air ke tempatnya, kemudian air pun terus menyembur setelah diciduk"Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi saw. bersabda. "Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Ibu Ismail. Jika dia membiarkan Zamzam, atau jika dia tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.
"Ibu Abbas berkata, `Kemudian dia minum lalu menyusui anaknya. Malaikat berkata kepadanya, `Kamu jangan khawatir akan disia-siakan karena di sana ada Baitullah yang akan dibangun kembali oleh anak ini dan bapaknya. Dan bahwa Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.' Keadaan Baitullah itu lebih tinggi dari permukaan tanah. Ia seperti tonjolan tanah yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya. Kondisi Ibu Ismail terus berlanjut demikian sampai sekelompok Bani Jurhum atau sekelompok pengunjung Baitullah dari kalangan Bani Jurhum lewat di sana dari suatu jalan. Mereka turun ke lembah Mekkah dan melihat ada burung berputar di angkasa. Mereka berkata, `Burung itu pasti mengitari air. Kita yakin bahwa di lembah ini ada tempat air.'"
"Kemudian dia megirim satu atau dua orang utusan. Ternyata mereka menemukan air. Mereka kembali memberitahukan ihwal air. Maka mereka mendekatinya."
Ibnu Abbas berkata, "Saat itu Ibu Ismail berada di sekitar air. Mereka berkata kepadanya, `Apakah engkau megizinkan kami untuk tinggal di dekat airmu?' Dia menjawab, `Boleh saja. Namun kalian tidak berhak atas air ini.' Mereka menjawab, `Baiklah.'
"Ibnu Abbas berkata, "Nabi bersabda, `Maka Ibu Ismail menerima mereka dengan baik karena dia ingin punya teman.' Mereka pun menetap dan mengirimkan utusan kepada warganya untuk tinggal bersama mereka di sana sehingga berdirilah beberapa rumah di sana. Sang bayi pun tumbuh menjadi pemuda. Dia belajar bahasa Arab dari mereka. Dia disayang dan disanjung oleh mereka. Setelah dia balig, mereka mengawinkannya dengan salah seorang perempuan dari suku mereka. Ibu Ismail pun meninggal. Setelah Ismail menikah, datanglah Ibrahim guna menengok keturunan yang dulu ditinggalkannya. Namun, dia tidak mendapatkan Ismail. Ibrahim bertanya kepada istri Ismail. Istrinya menjawab, `Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.' Kemudian Ibrahim menanyakan ihwal penghidupan dan kesejahterannya. Istri Ibrahim menjawab, `Kami dalam kondisi yang buruk dan hidup dalam kesempitan dan kemiskinan.' Sang istri mengadu kepada Ibrahim. Ibrahim berkata, `Apabila suamimu datang, sampaikan salam saya kepadanya dan sampaikan pesan bahwa dia harus mengubah ambang pintunya.' Setelah Ismail datang, maka seolah-olah dia lupa akan sesuatu, kemudain bertanya, `Apakah tadi ada orang yang datang?' Si istri menjawab, `Ya, tadi ada orang tua begini….begini….datang. Dia bertanya kepadaku ihwal engkau, maka aku menceritakannya dan dia pun bertanya ihwal kehidupan kita, dan aku pun menceritakannya bahwa kita hidup dalam kepayahan dan kesusahan.' Ismail bertanya, `Apakah dia berpesan sesuatu kepadamu?' Istrinya menjawab, `Benar. Dia menyuruhku menyampaikan salamnya kepadamu dan menyuruhmu mengubah ambang pintu rumahmu.'Ismail berkata, `Dia adalah bapakku. Dia menyuruhku menceraikanmu. Maka kembalilah kamu kepada keluargamu.' Ismail menceraikannya, kemudian mengawini wanita lain dari Bani Jurhum."
"Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Kemudian dia menjumpainya, namun tidak mendapatkan Ismail. Dia masuk ke rumah istrinya dan menanyakan ihwal dia. Si istri berkata, `Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.' Ibrahim bertanya, `Bagaiman keadaan penghidupan dan kondisi kalian?' Si istri menjawab, `Kami baik-baik saja dan berkecukupan.' Si istri memuji kepada Allah Ta'ala. Ibrahim bertanya, `Apa yang kalian makan?' Si istri menjawab, `Daging' Ibrahim bertanya, `Apa yang kalian minum?' Si istri menjawab, `Air.' Ibrahim berkata, `Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.'"
Nabi saw. bersabda, "pada saat itu, mereka belum memiliki makanan pokok berupa biji-bijian. Seandainya mereka punya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya biji-bijian itu diberkati."
Nabi bersabda, "Daging dan air memang ada pada selain penduduk Mekkah, namun tidak cocok menjadi makanan pokok. Ibrahim berkata, `Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan suruhlah dia menetapkan ambang pintu rumahnya.' Ketika Ismail datang, dia bertanya, `Apakah ada orang yang datang?' Si istri menjawab, `Ada seorang tua yang baik penampilannya (si istri memuji Ibrahim) dan dia menanyakan ihwalmu kepadaku, lalu aku pun menceritakannya. Dia bertanya kepadaku ihwal penghidupan kita , maka akupun menyampaikannya bahwa kehidupan kami baik-baik saja.' Ismail bertanya, ` Adakah dia pesan sesuatu kepadamu?' Si istri menjawab, `Dia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu untuk mengokohkan ambang pintu rumahmu.' Ismail berkata, `Dia adalah ayahku dan engkau merupakan ambang pintu itu. Dia menyuruhku untuk tetap mengawinimu.'"
"Kemudain Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Seelah itu, dia datang lagi, sementara Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon Dauhah dekat sumur Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, dia bangkit dan terjadilah adegan yang maklum terjadi antara anak dan ayahnya dan ayah dengan anaknya. Ibrahim berkata, `Hai Ismail, sesungguhnya Allah memberiku sebuah perintah.' Ismail berkata, `Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Tuhanmu.' Ibrahim berkata, `Apakah kamu akan membantuku?' Ismail menjawab, `Aku akan membantumu.' Ibrahim berkata, `Sesungguhnya Allah menyuruhku membuat suatu rumah di sana.' Ibrahim menunjuk ke tumpukan tanah yang lebih tinggi dari sekelilingnya."
Ibnu Abbas berkata, "Pada saat itu keduanya meninggikan fondasi Baitullah. Ismail mulai mengangkut batu, sementara Ibrahim memasangnya. Setelah bangunan tinggi, Ismail datang membawa batu ini (yakni batu yang dipijak Ibrahim pada saat pembangunan Ka'bah sudah tinggi. Batu inilah yang disebut Maqam Ibrahim) untuk dijadikan pijakan oleh Ibrahim. Sementara Ibrahim memasang batu dan Ismail menyodorkannya, keduanya berdoa, `Ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi maha Mengetahui.'
"Ibnu Abbas berkata, "maka keduanya terus menuntaskan pembangunan sekeliling Ka'bah sambil berkata, "ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "
Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) fondasi-fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah, 125-128)
HIDANGAN
Maka Isa berkata, "Bertakwalah kepada Allah, jika kamu merupakan orang-orang yang beriman." Mereka berkata, "Kami ingin memakannya sehingga hati kami menjadi tenteram dan kami pun yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, lalu kami akan menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu."Isa putra Maryam berdoa. "Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah suatu hidangan dari langit yang akan menjadi tanda yang menunjukkan kekuasaan-Mu; anugerahkanlah rezeki kepada kami dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling utama."
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu. Barangsiapa diantara kamu kamu yang kafir sesudah itu, maka sesungguhnya Aku akan mengazabnya dengan suatu azab yang belum pernah Kutimpakan kepada seorang makhluk pun." Ibnu Abbas melanjutkan: maka malaikat terbang membawa hidangan dari langit. Hidangan itu berisi tujuh jenis ikan dan tujuh jenis roti. Malaikat meletakkannya di hadapan mereka. Orang yang terakhir memakannya seperti halnya orang yang pertama memakannya.
Demikian pula kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas.Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ammar bin Yasir dari Nabi saw, beliau bersabda, "Hidangan itu diturunkan dari langit. Ia berisikan roti dan daging. Mereka diperintahkan supaya jangan berkhianat dan menyisakan untuk esok. Lalu mereka berkhianat dan menyimpannya. Maka mereka dialih rupakan menjadi kera dan babi."
*******(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?" Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman".Mereka berkata; "kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
Isa putra Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama".
Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barang siapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia".( al-Maa-idah:112-115)
HARI SABTUNYA ORANG YAHUDI
Kisah ini menceritakan tentang sebuah desa orang-orang Yahudi yang terletak di pesisir lautan, yaitu sebuah desa pesisir di antara desa-desa yang mereka diami. Orang-orang Yahudi setempat telah diperintahkan Allah untuk tidak berburu dan menangkap ikan pada hari Sabtu dan mereka dibolehkan untuk menangkap pada hari-hari lain dalam sepekan.
Allah telah menguji mereka dengan kewajiban ini, di mana ikan-ikan itu menjauhi mereka dan jarang ditemui pada hari-hari dibolehkannya menangkap ikan, sementara pada hari Sabtu ikan-ikan itu justru banyak mendatangi mereka dengan terapung-apung di sekitar mereka.
Setan pun membisiki hati sekelompok orang dari penduduk desa dan membujuk mereka untuk menangkap ikan. Akan tetapi, bagaimana caranya mereka dapat mengelak dari perintah Allah tersebut? Setan menunjukkan alibi, cara tipu daya, serta membimbing mereka kiat agar dapat menangkap ikan pada hari Sabtu.
Penduduk desa itu terbagi menjadi dua kelompok dalam menghadapi kelompok yang melanggar batas tersebut. Kelompok pertama adalah orang-orang saleh dari para dai yang menjalankan kewajiban mereka dalam dakwah dan memprotes orang-orang yang mengakali perintah-perintah Allah dengan berbagai alibi, pelanggaran, dan perburuan mereka pada hari Sabtu.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang berdiam diri, yang diam melihat pelanggaran orang-orang yang melampaui batas, dan mereka justru melontarkan celaan dan penentangan terhadap orang-orang saleh yang berdakwah, dengan alasan bahwa tidak ada manfaatnya menasihati dan memperingatkan sekelompok orang yang memang sudah sepantasnya binasa dan akan mendapat azab.
Orang-orang saleh itu menjelaskan kepada orang-orang yang mencela mereka dan mendiamkan kemungkaran itu bahwa mereka memprotes kemungkaran itu dengan tujuan melepaskan tanggung jawab di hadapan Allah dan demi menunaikan kewajiban serta agar mereka mau bertakwa.
Ketika azab Allah menimpa orang-orang yang melampaui batas itu, maka Allah mengubah wujud mereka menjadi monyet-monyet hina. Perubahan bentuk wujud itu memang terjadi sesungguhnya. Tidak lama setelah berubah wujud menjadi monyet yang tidak mempunyai keturunan, mereka akhirnya mati.
Allah menyelamatkan orang-orang saleh para dai itu. Sementara itu, Al-Quran tidak menjelaskan nasib orang-orang yang diam, barangkali karena mereka tidak berarti dan hina di mata Allah. Karena mereka tidak disebutkan bersama orang-orang yang selamat maka tampaknya mereka termasuk orang-orang yang binasa dan terkutuk.
HADIAH
Aku berniat mengumpulkan harta mahar untuk calon istriku kelak. Dan itulah yang selalu ditekankan oleh ibuku setiap hari. Pekerjaanku berjalan mudah, karena kulakukan dengan sungguh-sungguh dan telaten, terutama karena pekerjaanku itu adalah di rumah sakit tentara. Aku senang beraktivitas, -itu sebabnya secara medis- aku mendapatkan sukses besar dalam pekerjaanku tersebut. Bila dibandingkan dengan pelajaran teori yang membosankan yang pernah kupelajari.
Rumah sakit tersebut mengumpulkan berbagai tenaga medis dari berbagai bangsa. Demikian kira-kira. Hubungan¬ku dengan mereka, sebatas hubungan kerja saja. Sebagai-mana mereka juga mengambil manfaat dari kehadiranku, sebagai penduduk asli negeri ini. Saya sering menjadi guide mereka mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan pasar¬-pasar. Sebagaimana aku juga sering mengantarkan mereka ke sawah-sawah kami. Hubunganku dengan mereka amat erat. Dan seperti biasa, di akhir ikatan hubungan kerja, kami mengadakan pesta perpisahan ..
Pada suatu hari, salah seorang dokter dari Inggris berniat melakukan perjalanan pulang ke negerinya, karena masa kerjanya sudah habis. Kami bermusyawarah untuk menga¬dakan pesta perpisahan baginya. Tempat yang kami tentukan adalah sawah kami, kemudian didekorasi seperti biasanya. Namun yang menguras pikiranku adalah: hadiah apa yang akan kuberikan kepadanya? Terutama karena aku sudah bekerja bersamanya dalam waktu yang lama ..
Akhirnya aku temukan sebuah hadiah berharga dan se¬suai untuk saat itu. Dokter yang satu ini dikenal suka me¬ngumpulkan barang-barang tradisional. Tanpa perlu bersusah-payah, kebetulan ayahku menyimpan banyak barang-¬barang semacam itu. Maka akupun meminta kepada beliau. Aku memilih sebuah benda tradisional hasil karya daerahku, di masa lampau. Seorang di antara saudara sepupuku turut hadir untuk kuajak berdiskusi tentang hal itu.
Saudaraku itu menyela: 'Kenapa tidak engkau beri hadiah buku tentang Islam?' Aku lebih memilih barang tradisional itu. Tak kuindahkan pendapat saudaraku tersebut dengan anggapan bahwa sulit untuk mendapatkan buku yang cocok untuknya. Namun Allah memudahkan diriku untuk menda¬patkan barang tersebut tanpa bersusah-payah. Esok harinya, aku pergi untuk membeli beberapa mushaf dan majalah dari toko buku. Ternyata aku dapatkan sebuah buku tentang Islam berbahasa Inggris.
Kembali kata-kata sepupuku itu terngiang di telingaku. Pikiran untuk membeli buku itu menjadi pertimbangan khusus bagiku saat itu, karena kebetulan harganya murah sekali. Akupun membeli buku tersebut.
Datanglah saat pesta perpisahan dengan sahabatku itu. Aku meletakkan buku tersebut di tengah barang tradisional tersebut. Seolah-olah aku menyembunyikannya. Akupun menyerahkan hadiahku tersebut. Sungguh itu merupakan perpisahan yang amat berkesan. Dokter itu memang amat disukai oleh rekan-rekan kerjanya ...
Sahabat kamipun pergi meninggalkan kami. Hari demi haripun berlalu. Bulan demi bulan juga berlalu demikian cepat. Akupun menikah dan dianugerahi seorang putra.
Suatu hari, datanglah surat dari Britania (Inggris). Aku segera membacanya dengan perlahan. Surat itu ditulis dalam' bahasa Inggris. Pada mulanya, aku memahami sebagian isinya. Namun aku tidak bisa memahami sebagian kata¬-katanya. Aku tahu bahwa surat itu berasal dari teman lama yang beberapa saat bekerja bersama kami. Namun kuingat-¬ingat, baru kali ini kudengar namanya. Bahkan nama itu terdengar aneh di telingaku. Difullah, demikian namanya.
Kututup surat tersebut. Aku berusaha mengingat-ingat sahabat bernama Difullah. Namun aku tidak berhasil mengingat seorangpun dengan nama itu. Kubuka lagi surat itu, dan kembali kubaca isinya dengan tenang. Huruf demi huruf mengalir dengan mudah dan lancar. berikut sebagian isi surat tersebut:
Saudara yang mulia, Dhaifullah ...
Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Allah telah memudahkan diriku memahami Islam dan memberiku petunjuk melalui kedua belah tanganmu. Tak pernah kulupakan persahabatanku denganmu. Aku selalu mendoakanmu. Aku teringat dengan buku yang pernah eng¬kau hadiahkan kepadaku di hari kepergianku. Suatu hari kubaca buku itu, sehingga bertambahlah kesungguhanku untuk lebih banyak mengenal Islam. Termasuk di antara taufik Allah kepadaku, di sampul buku tersebut aku menda¬patkan nama penerbit buku itu.
Akupun mengirim surat kepada mereka untuk meminta tambahan buku. Mereka segera mengirimkan buku yang kuminta. Segala puji bagi Allah yang telah menyalakan cahaya Islam dalam dadaku. Akupun pergi menuju Islamic Center dan mengumumumkan ke-Islamanku. Aku ubah namaku dari Jhon menjadi Dhaifullah. Yakni seperti namamu, karena engkau orang yang memiliki keutamaan dari Allah. Aku juga melampirkan surat resmi ketika aku mengu¬mumkan syahadatku. Aku akan mengusahakan pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menunaikan haji.
Dari saudaramu seiman, Dhaifullah.
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Akupun menutup surat tersebut. Namun dengan cepat kubuka kembali. Aku membacanya untuk kesekian kali.
Surat itu demikian menggetarkan diriku. Karena aku me¬rasakan ikatan persahabatan pada setiap huruf-hurufnya. Akupun menangis terus. Bagaimana tidak? Allah telah memberi hidayah kepada seseorang menuju Islam melalui kedua belah tanganku, padahal selama ini aku lalai dalam memenuhi hakNya. Hanya dengan sebuah buku yang tidak sampai lima Riyal harganya, Allah memberi hidayah kepada seseorang ... Aku sedih sekaligus bahagia.
Bahagia, karena tanpa usaha yang keras dariku, Allah menunjukkannya kepada Islam. Namun aku juga merasa sedih, karena penasaran terhadap diriku sendiri: Kemana saja aku selama ini ketika masih bersama para pekerja tersebut? Aku belum pernah mengajaknya kepada Islam? Bahkan belum pernah mengenalkannya dengan Islam? Tak ada satu katapun tentang Islam yang akan menjadi saksi buat diriku pada hari Kiamat nanti.
Aku banyak mengobrol bersama mereka dan sering ber¬canda dengan mereka, namun aku tidak pernah membica¬rakan Islam, banyak ataupun sedikit Allah telah memberi hidayah kepada Dhaifullah untuk masuk Islam, dan juga memberiku petunjuk untuk ber¬introspeksi diri akan keteledoranku dalam menaati Allah. Aku tidak akan meremehkan kebajikan sedikitpun, meski hanya dengan sebuah buku berharga satu Riyal saja ...
Aku berfikir sejenak: Seandainya setiap muslim mengha¬diahi sebuah buku saja kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, apa yang akan terjadi?
Namun aku tertegun karena hal yang aku takuti dari berita yang kubaca, dari benua Afrika ....
Beberapa kenyataan itu menyebutan:
Telah berhasil dikumpulkan dana sebesar satu juta dolar Amerika untuk tujuan gereja.
Berhasil kaderisasi 3.968.100 penginjil selama satu tahun..
Telah berhasil dibagi-bagikan sebanyak 112.564.400 eksemplar Injil.
Jumlah stasion radio dan televisi Nashrani telah mencapai 1.620 buah.
Aku bertanya-tanya: "Di manakah kita berada, dalam kondisi demikian? Berapa banyak supir di negeri kita ini yang bukan muslim? Dan berapa banyak pembantu di negeri kita ini yang juga bukan muslimah? Berapa, berapa dan berapa? Sungguh rasa sakit yang didahului linangan air mata. Namun tetap bergayut satu pertanyaan: Mana usaha kita? Mana usaha kita?"
Gara-gara Seekor Ular
Disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ali At-Tanukhi, dia mengatakan: Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang terkenal zuhud dan kuat ibadatnya, dialah Labib Al-Abid. Dia datang ke pintu gerbang negeri Syam dari arah barat kota Baghdad, sebuah tempat yang menjadi laluan banyak orang.
Labib kemudian berkata kepadaku: Dahulu aku adalah seorang hamba Rom, milik salah seorang tentara. Dialah yang merawat dan mengajarku cara bermain pedang sehingga aku pun mahir memainkannya sehingga merasa benar-benar perkasa. Demi menjalin persaudaraan dan untuk mengawal hartanya, walaupun aku telah dimerdekakan sepeninggalnya, aku kemudian menikahi isterinya. Aku yakin, Allah SWT. telah mengetahui bahawa apa yang kuperbuat itu tiada lain sekadar untuk menjaganya. Aku tinggal bersamanya beberapa tahun.
Selama hidup berumahtangga dengannya, suatu hari kulihat seekor ular menyelinap dalam bilik kami. Aku lalu memegang ekornya untuk kubunuh, tetapi ular itu justru berbalik menyerangku dan berhasil menggigit tanganku hingga menjadi lumpuh. Setelah tanganku yang satu mengalami kelumpuhan, selang beberapa waktu kemudian tanganku yang lain menyusul lumpuh pula tanpa sebab- sebab yang jelas. Seterusnya kedua kakiku juga lumpuh, mataku menjadi buta dan terakhir aku menjadi bisu. Kemalangan ini kualami selama satu tahun.
Demikianlah keadaanku yang sangat buruk, kecuali hanya telingaku yang masih mampu menangkap segala pembicaraan. Aku tergeletak tiada berdaya: Aku selalu diberi minum saat aku merasa tidak dahaga, sementara itu dibiarkan kehausan saat aku kenyang, dan dibiarkan ketika aku merasa lapar. Setelah berjalan satu tahun, datanglah seorang wanita menjumpai isteriku.
Dia bertanya kepada isteriku, Bagaimana keadaan Abu Ali Labib? Dia tidak hidup dan tidak juga mati, sehingga hal ini membuatku bimbang dan hatiku menjadi sangat sedih, jawab isteriku.
Mendengar hal itu, dalam hatiku lalu mengadu kepada Allah dan berdoa. Dalam keadaan menderita sakit yang seperti ini sedikit pun dalam jiwaku tidak merasakan sesuatu.
Pada suatu hari, aku merasa seakan-akan menerima pukulan sangat keras yang hampir membuatku binasa. Hal itu terus berlangsung hingga tengah malam atau mungkin sudah lewat tengah malam, kemudian sedikit demi sedikit rasa sakitku ini mula hilang, akhirnya aku dapat tidur.
Keesokan hari ketika terjaga dari tidur, kurasakan tangan ini telah berada di atas dada, padahal selama ini tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur kerana mengalami kelumpuhan. Kucuba untuk bergerak dan ternyata berjaya. Melihat hal ini, aku merasa gembira dan yakin bahawa Allah akan memberikan kesembuhan.
Kucuba menggerakkan tanganku yang lain dan ternyata dapat kugerakkan pula. Aku juga mencuba memegang salah satu kakiku dan berhasil memegangnya, dan kukembalikan tanganku pada keadaan semula, hal ini kulakukan pula pada tanganku yang lain. Selepas itu aku ingin mencuba membalikkan tubuhku dan ternyata dapat kubalikkan dan bahkan aku mampu duduk lagi. Kemudian, aku bermaksud untuk berdiri dan ternyata aku juga mampu melakukannya, lalu kucoba lagi turun dari pembaringan, yang selama ini tubuhku terbaring. Tempat tidurku itu berada di sebuah bilik yang ada di rumahku.
Dalam kegelapan aku mencoba untuk mencari pintu bilik dengan meraba-raba dinding bilik, sebab mataku belum dapat melihat dengan terang. Akhirnya aku berhasil mencapai teras rumah dan di sana aku dapat memandang langit dan bintang-bintang yang berkedip. Kerana luapan kegembiraan yang tiada terkira hampir menghentikan detak jantungku, dan segera terlontar dari bibirku rasa syukur kepada-Nya: Wahai Zat Yang Maha Kaya Kebaikan-Nya! Hanya Milik-Mulah segala puji. Setelah itu aku pun berteriak memanggil isteriku dan dia segera datang menemuiku seraya berkata, Abu Ali? Sekarang inilah aku menjadi Abu Ali yang sebenarnya. Dan kini nyalakanlah lampu, kataku kepadanya.
Isteriku segera pula menyalakan lampu, dan kemudian kuperintahkan kepadanya untuk mengambilkan sebuah gunting. Dia pun datang dengan membawa gunting yang kumaksud, dengan gunting itulah kupotong kumisku. Isteriku lalu berkata kepadaku, Apa yang hendak kamu lakukan? Bukankah teman-temanmu telah mencelamu? Selepas ini, aku tidak akan melayani seorang pun kecuali hanya Tuhanku semata-mata, jawabku. Seterusnya kugunakan seluruh waktuku untuk menghadap kepada Allah SWT. dan tekun beribadat. Al-Qadhi Abu Ali meneruskan ceritanya kembali, bahawa Abu Ali Labib Al Abib adalah seorang yang mustajab doanya.
Doa Untuk Si Mayit
"Aku akan ikut sholatkan jenazah itu agar bila aku mati nanti orang juga tak segan menyolatkan aku," pikir si badui.
Ia lalu mengikuti iringan jenazah itu memasuki mesjid. Setelah menyolatkan, ia kembali mengurus kerjaannya.Malam harinya sang imam mimpi bertemu dengan si mayit. Ia tampak sangat bahagia.
"Bagaimana keadaanmu," tanya sang imam."Alhamdulillah, Allah telah mengampuni dosa-dosaku berkat doa si badui."
Keesokan harinya sang imam mencari si Badui. Setelah bertemu, ia bertanya, "Doa apa yang kau baca sewaktu sholat jenazah kemarin."
"Aku tidak membaca apa-apa," kata si Badui."Semalam aku mimpi bertemu dengan mayit yang kita sholatkan kemarin. Ia bercerita bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya berkat doamu."
"Aku tidak berdoa apa-apa. Aku hanya berkata: Ya Alloh, sekarang ia adalah tamu-Mu. Kalau tamuku, tentu akan kusembelihkan seekor kambing."
Doa Mustajab
"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
Doa itu keluar dari mulut `Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang. Didalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang." (QC. Al-Fath:17)
Karena kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga `Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai `Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi saw."
Namun `Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?"
Meski `Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu `Amru kemudian menghadap Rasulullah Saw dan berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah. Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."
"Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu." Kata Nabi mengingatkan.
"Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana." Kata `Amru tetap berkeras.
Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum `Amru: "Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya."
Dengan terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak: "Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati: sampai akhirnya ajal menemui mereka.
Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah "Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah melihat Hindun, istri `Amru bin Jumuh sedang menuntun unta ke arah Madianh. `Aisyah bertanya: "Bagaiman beritanya?"
"Baik-baik , Rasulullah selamat Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan, "jawab Hindun.
"Mayat siapakah di atas unta itu?"
"Saudaraku, anakku dan suamiku."
"Akan dibawa ke mana?"
"Akan dikubur di Madinah."
Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
"Barangkali terlalu berat," kata `Aisyah.
"Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain." Jawab Hindun.
Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali, namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika di belokkan ke arah Madinah. Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."
Rasulullah berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"
"Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
"Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah" kata beliau lagi.
"Sesungguhnya diantara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh," sambung Nabi.
Setelah itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di surga. `Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu."
"Ya Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,: kata Hindun memohon kepada Nabi.
NASEHAT YANG JITU
Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!" Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?" tanya Ibrahim.
"Kau benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya Jahdar dengan penasaran.
"Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan membenarkannya.
"Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."
"Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutnya, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, "Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku.
Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
DOA
DIALOG IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah pernah bercerita : "Ada seorang ilmuwan besar dari kalangan bangsa Romawi, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh karena itu dia segan bila bertemu dengannya. Pada hari kedua, manusia berkumpul di masjid, orang kafir itu naik mimbar dan mau mengadakan tukar pikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shof-shof masjid bangun seorang laki-laki muda, dialah Abu Hanifah, dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata :"Inilah saya, hendak tukar pikiran dengan tuan".
DENGKI
Ada seorang lelaki yang setiap hari mengunjungi raja. Setelah bertemu raja, ia selalu berkata, "Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya."
Ada seseorang yang dengki melihat keakraban lelaki itu dengan raja. "Lelaki itu memiliki kedudukan yang dekat dengan raja, setiap hari ia bertemu raja," pikir si pendengki dengan perasaan kurang senang. Si pendengki kemudian menemui raja dan berkata, "Lelaki yang setiap hari menemuimu, jika keluar dari sini selalu berbicara buruk tentang kamu. Ia juga berkata bahwa bau mulutmu busuk." Raja terdiam.
Sekeluarnya dari kerajaan, pendengki duduk di tepi jalan yang biasa dilalui oleh lelaki yang akrab dengan raja. Ketika si lelaki itu lewat dalam perjalanannya menemui raja. Ia menghadangnya, "Kemarilah, singgahlah ke rumahku."
Setelah temannya singgah ke rumahnya, si pendengki menawarkan bawang merah dan putih, dan memaksanya agar ia memakannya. Karena dipaksa, ia akhirnya mau juga memakannya untuk melegakan hati orang itu. Bau bawang merah dan putih itu tentu tidak mudah hilang.
Selesai berkunjung ke tempat si pendengki, lelaki itu sebagaimana biasa mengunjungi raja. Sewaktu berjabatan tangan dengan raja, ia menutup mulutnya agar raja tidak mencium bau mulutnya.
"Rupanya benar perkataan orang itu, ia benar-benar menganggap mulutku bau," pikir raja. Sang raja kemudian memikirkan suatu rencana jahat.
Lelaki itu kemudian duduk dan berkata sebagaimana biasa, "Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya."
Setelah merasa waktu berkunjungnya sudah cukup, ia kemudian pamit kepada raja. Raja berkata, "Bawalah surat ini dan serahkanlah kepada fulan." Surat itu berisi, "Jika sampai kepadamu pembawa surat ini, maka sembelih dan kulitilah dia, kemudian isilah tubuhnya dengan jerami."
Lelaki tadi keluar membawa surat raja. Di tengah jalan ia dihadang oleh si pendengki.
"Apa yang kamu bawa?" tanyanya.
"Surat raja untuk fulan. Surat ini beliau tulis dengan tangannya sendiri. Biasanya beliau tidak pernah menulis surat sendiri, kecuali dalam urusan pembagian hadiah.".
"Berikanlah surat itu kepadaku, aku ini sedang butuh uang," pintanya. Ia kemudian menceritakan kesulitan hidupnya. Karena kasihan, surat itu kemudian ia serahkan kepada si pendengki.
Si Pendengki menerimanya dengan senang hati. Setelah sampai di tempat tujuan, ia menyerahkan surat itu kepada teman raja.
"Masuklah ke sini, raja menyuruhku membunuhmu," kata teman raja.
"Yang dimaksud bukan aku, coba tunggulah sebentar biar kujelaskan," katanya ketakutan.
"Perintah raja tak bisa ditunda," kata teman raja.
Ia lalu membunuh, menguliti dan mengisi tubuh si pendengki dengan jerami.
Keesokan harinya, lelaki itu datang sebagaimana biasa dan berkata, "Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya." Raja heran melihatnya masih hidup. Setelah diselidiki, terbongkarlah keburukan si pendengki.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengannya, hanya saja kemarin ia mengundangku kerumahnya dan memaksaku makan bawang merah dan putih. Waktu aku menemuimu kututup mulutku agar kamu tidak mencium bau tidak sedap dari mulutku. Sekeluarnya dari sini, ia menemuiku dan menanyakan titipanmu," lelaki itu kemudian menceritakan semua yang terjadi.
Mendengar jalannya cerita, tahulah raja bahwa orang itu ternyata dengki kepada sahabatnya. "Benar ucapanmu, orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya."
Kedengkian di hati orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Dengki itu merusak amal Dengki memakan kebaikan seperti api memusnahkan kayu bakar. (HR Ibnu Majah) Kedengkian seseorang hanya akan berakibat buruk bagi orang itu sendiri.
Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul
Asyraf, Kisah dan Hikmah
CERITA ABU QUDAMAH
Suatu ketika saat ia sedang duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: "Hai Abu Qudamah, anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad."
"Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian," kata Abu Qudamah.
"Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak fi sabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.
"Apa yang anda inginkan?" tanyaku.
"Andakah yang bernama Abu Qudamah?" katanya balik bertanya.
"Benar," jawabku.
"Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?" tanyanya kembali.
"Ya, benar," jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, "Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir kesayanganku1¬¬ agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya."
"Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya," kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersama sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil,
"Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu," teriak orang itu.
"Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini," perintahku kepada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak keikutsertaanku."
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir," jawabnya.
"Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak." kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
"Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?" tanyaku.
"Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku," jawabnya.
Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?" tanyaku lagi.
"Ya," jawabnya.
"Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya," pintaku kepadanya.
"Kau tidak kenal ibuku?" tanyanya
"Tidak," jawabku.
"Ibuku ialah pemilik titipan itu," katanya.
"Titipan yang mana," tanyaku
"Dialah yang menitipkan tali kuda itu," jawabnya.
"Tali kuda yang mana?" tanyaku keheranan.
"Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?"
"Ya , aku ingat," jawabku.
"Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi," katanya.
"Ibuku berkata, "Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka mintalah syafa'at bagiku."
Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, "Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya."
"Aku benar-benar takjub dengan anak ini," kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
"Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Qur'an. Aku juga jago menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih belia," kata anak itu memelas.
Setelah mendengar uraiannya aku tidak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tidak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dekat pos perbatasan. Saat itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, bocah itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan menyiapkannya. Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja kecapaian selama perjalanan panjang tadi.
Akan tetapi bocah itu bersikeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Maka ketika kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, "Menjauhlah sedikit agar asap kayu bakarmu tidak mengganggu kami."
Maka bocah itupun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi bocah itu tidak kunjung tiba. Mereka merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.
"Hai Abu Qudamah, temuilah bocah itu. Ia sudah terlalu lama memasak. Ada apa dengannya?" pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati bocah itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tapi karena terlalu lelah, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Melihat kondisinya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami belum menyantap apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mulai meramu masakannya, dan sambil menyiapkan masakan, sesekali aku melirik bocah itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa bocah itu tersenyum. Lalu perlahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.
Aku merasa takjub melihat tingkahnya tadi, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan buru-buru mengatakan, "Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian."
"Ah tidak, kamu tidak terlambat kok," jawabku.
"Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad," kata bocah itu.
"Tidak," sahutku, "Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan," lanjutku.
"Paman, itu sekedar mimpi yang kulihat sewaktu tidur," kata si bocah.
"Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.
"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa "Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.
"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya," kataku.
"Paman, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur'an.
Ketika aku jalan-jalan di dalamnya dengan terkagum-kagum, tiba-tiba tampaklah olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, terasnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.
Di teras itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan tampaklah gadis-gadis belia nan cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan."
Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, gumamku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, "Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!"
Aku tidak paham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, "Kamukah al-Mardhiyyah..?"
"Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah.." katanya. "Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?" tanya gadis itu.
"Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu," serunya.
Tiba-tiba kulihat diatasnya ada sebuah kamar dari emas merah.. dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, "Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku."
Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata, "Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaaAllah besok kita akan bertemu selepas Ashar."
Akupun tersenyum dan senang mendengarnya."
Abu Qudamah melanjutkan, "Usai mendengar cerita si bocah yang indah tadi, aku berkata kepadanya, "InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik."
Lalu kamipun menyantap hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.
Setibanya di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah menunaikan shalat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi musuh.
Sang komandan bangkit untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan Surat al-Anfaal. Ia mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sambil terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.
Abu Qudamah menceritakan, "Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka mengumpulkan sanak kerabatnya di sekitarnya. Adapun si bocah, ia tidak punya ayah yang memanggilnya, atau paman yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.
Akupun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu terlihatlah olehku bahwa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata, "Wahai anakku, punyakah engkau pengalaman berperang..?"
"Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir," jawab si bocah.
"Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tidak segampang yang engkau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang engkaupun ikut menang, namun jika kita kalah engkau tidak menjadi korban pertama," pintaku kepadanya.
Lalu dengan tatapan penuh keheranan ia berkata," Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?"
"Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu," jawabku.
"Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?" tanyanya.
"A'uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu surga," jawabku.
Lalu kata si bocah, "Sesungguhnya Allah berfirman,
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembvalinya itu."(QS. Al-Anfaal: 15-16)
"Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?" tanya si bocah.
Akupun heran dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, "Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang engkau katakan." Namun tetap saja ia bersikeras tidak mau pindah ke belakang. Akupun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perangpun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.
Dalam kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diiringi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu mulailah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau anyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tidak bernyawa tergeletak bersimbah darah.
Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tidak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku tanur yang menyala di atas kami.
Perangpun makin memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan sampai matahari tergelincir dan masuk waktu zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.
Setelah mereka terpukul mundur, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan shalat zhuhur. Selepas shalat, mulailah masing-masing dari kita mencari sanak keluarganya di antara para korban.
Sedangkan si bocah.. maka tidak seorangpun yang mencarinya atau menanyakan kabarnya. Maka kukatakan dalam hati, "Aku harus mencarinya dan menyelidiki keadaannya, barangkali ia terbunuh, terluka atau jatuh dalam tawanan musuh?"
Akupun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di saat itulah aku mendengar ada suara lirih di belakangku yang mengatakan, "Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari."
Aku menoleh kearah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku, "Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!"
"Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini.." kata si bocah.
Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tidak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku menyingsingkan sebagian kainku lalu mengusap darah yang menutupi wajah polos itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, "Paman.. usaplah darahku dengan pakaianku, dan jangan engkau usap dengan pakaianmu."
Demi Allah, aku tidak kuasa menahan tangisku dan tidak tahu harus berkata apa. Sesaat kemudian, bocah itu berkata dengan suara lirih, "Paman.. berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti engkau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula kepadanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan paman-pamanku di jannah.
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu tidak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, karena bila ibu melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan insyaaAllah kami bertemu kembali di jannah.
Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan engkau temui seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah saudariku.. tidak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan keceriaan, dan tidak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, "kak.. jangan engkau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang.. !!"
Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya bahwa kakakmu mengatakan, "Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu."
Abu Qudamah melanjutkan, "Kemudian bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun nafasnya mulai sesak dan bicaranya tidak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,
"Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, saat ini aku benar-benar sedang melihat al-Mardhiyyah dan mencium bau wanginya."
Lalu bocah itu mulai sekarat, dahinya berkeringat, nafasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di pangkuanku."
Abu Qudamah berkata, "Maka kulepaskan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah kantong, kemudian kukebumikan dia. Usai mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka akupun kembali ke Raqqah. Aku tidak tahu siapa nama ibunya dan dimana rumah mereka.
Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur Sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang yang baru datang dari bepergian ia bertanya, "Paman.. Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," kata lelaki itu.
"Kalau begitu kakakku ada bersamamu..?" tanyanya.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua, dan tanyanya,
"Akhi, Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabnya.
"Kakakku ada bersamamu?" tanya gadis itu.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata, "Mengapa mereka semua kembali tetapi kakakku tidak kunjung kembali?"
Melihat ia seperti itu, akupun datang menghampirinya. Ketika ia melihat bekas-bekas safar padaku dan kantong yang kubawa, ia bertanya,
"Paman.. Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabku.
"Kalau begitu kakakku ada bersamamu?" tanyanya.
"Dimanakah ibumu?" tanyaku.
"Ibu ada di dalam rumah," jawabnya.
"Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku," perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya,
"Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?"
Maka tanyaku, "Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang engkau maksud dengan bela sungkawa dan kabar gembira itu?"
"Jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.
Namun jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, berarti engkau datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya," jelas si perempuan tua.
Maka kataku, "Kalau begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu. Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian darahnya hingga ia ridha."
'Tidak!, kurasa engkau tidak berkata jujur," kata si ibu sambil melirik kepada kantong yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan seksama.
Maka kukeluarkanlah isi kantong tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah. Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang bercampur beberapa helai rambutnya.
"Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang engkau kenakan kepada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?" kataku.
"Allaahu Akbar..!!" teriak si ibu kegirangan.
Adapun gadis kecil tadi, ia justru berteriak histeris lalu jatuh terkulai tidak sadarkan diri. Tidak lama kemudian ia mulai merintih, "Aakh..! aakh..!"
Sang ibu merasa cemas, ia bergegas masuk kedalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, mengguyurkan air kepadanya.
Demi Allah, ia tidak sedang merintih.. ia tidak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Nafasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. Lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.
Setelah puterinya tiada, ia mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam, "Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di jannah-Mu."
Abu Qudamah berkata, "Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya sehingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tidak membukakanku ataupun menjawab seruanku.
"Sungguh demi Allah, tidak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini," kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya
Lihatlah, bagaimana si ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia perintahkan anaknya untuk berjihad fi sabilillah demi keridhaan Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan demi keridhaan-Nya?"
Bibit (Sumber) dari Segala Sesuatu
Ma'awiyah r.a. kemudian mengirimkan surat dan botol tersebut kepadaAbdullah Ibnu Abbas r.a., pakar dan tokoh ulama fikih agar menjawabsurat itu.
Ibnu Abbas r.a. menjawab sebagai berikut: "Yang tidak punya kiblat(pengimaman) adalah Ka'bah. Yang tidak punya Ayah adalah Isa as. Yangtidak punya keluarga (ayah-ibu) ialah Adam as. Yang dibwa-bawa olehkuburannya ialah Yunus as yang ditelan oleh ikan hiu.
Adapaun tiga makhluk yang tidak dicipta dalam rahim ialah domba NabiIbrahim as., unta betina Nabi Saleh as., dan ular Nabi Musa as..
Adapun 'sesuatu' itu ialah orang berakal yang menggunakan akalnya.Setengah (separo) dari sesuatu ialah orang yg tidak berakal tetapimengikuti pendapat orang-orang yang berakal. Adapun yang tidakterbilang (apa-apa) ialah orang yang tidak berakal dan tidak maumengikuti pikiran orang-orang yang berakal.
Kemudian, beliau mengisi botol sehingga penuh dengan air dan berkata,"Air adalah bibit (sumber) dari segala sesuatu."
Jawaban surat Ma'awiyah dikirimkan kepada Kaisar yang menanggapinya dengan penuh kekaguman.
BANYAKLAH BERZIKIR
Salah seorang dari malaikat itu berkata, `Di dalam kelompok mereka terdapat si Fulan yang bukan bagian dari mereka. Ia datang ke sana hanya untuk suatu keperluan.' Allah SWT berfirman, `Anggota majelis itu tidak menyengsarakan orang yang duduk bergabung dalam majelis mereka.'"