EBOOK, BOOKS, FREE DDOWNLOAD E-BOOK, DOWNLOAD GRATIS, NOVEL AGATHA CHRISTIE, EBOOKS BISNIS
Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 2
Posted by Han on
Sunday, January 23, 2011
"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
'Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
"Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Gita akhwat atau bukan ? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "
kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya' Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster ? Dokter ? Ma ?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan ?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan ! Selamat jalan Mas Gagah !
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
'Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
"Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Gita akhwat atau bukan ? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "
kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya' Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster ? Dokter ? Ma ?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan ?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan ! Selamat jalan Mas Gagah !
Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 1
Posted by Han on
Saturday, January 22, 2011
Ketika Mas Gagah Pergi
By Helvy Tiana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu'alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.
"Matiin kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
"Mau kemana Gita?"
"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja yuk!"
"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?' ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
Bersambung...
By Helvy Tiana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu'alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.
"Matiin kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
"Mau kemana Gita?"
"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja yuk!"
"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?' ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
Bersambung...
Akhirnya Kami Lepaskan Burung Itu ke Langit
Posted by Han on
Cerpen Imam Muhtarom
AKHIRNYA kami lepaskan burung itu ke langit. Burung yang membuat kami sedesa berseteru sampai darah penghabisan. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan. Kami tidak saling bertegur sapa lagi, tidak saling memanggil dengan akrab lagi. Walaupun kami bertegur sapa, dalam diri kami selalu dibebani oleh kecurigaan-kecurigaan yang membuat kami saling meneror atau diteror. Kami bahkan mengasah pedang dan menyalakan api dendam pada diri kami masing-masing seolah kami sedang dilanda sebuah permasalahan yang demikian berat, demikian tidak mungkin diselesaikan dengan akal sehat kami.
Orang-orang sedesa kami pada berdiam, menahan nafas dalam-dalam, dan selalu waspada pada setiap orang yang dijumpai. Tidak lagi perduli apakah orang tersebut tetangga, istri, suami, saudara, saudara jauh, anak, maupun cucu. Orang-orang desa kami tidak pernah berhenti untuk selalu mengumbar dendam yang mereka sendiri tidak pernah tahu asal muasalnya kecuali ketika kedatangan perempuan cantik yang tidak tahu dari mana asalnya, yang mulanya hanya minta minum dan mengatakan sedang melakukan perjalanan jauh dari ujung matahari terbit. Perempuan cantik jelita, bermata berbinar-binar seperti memiliki harapan yang jauh akan masa hidupnya jika ia mencapai matahari terbit. Bibirnya merah merona yang membuat orang-orang desa kami takjub dan mengatakan pada dirinya jikalau bibir itu berkata, "Aku akan membuat kalian penuh semangat" dan tidak seorangpun punya padanan yang sesuai dengan lekuk-liku pada gurat-gurat bibirnya yang merona. Warna buah jambu yang menjadi batas desa kami, tidak mampu menyamainya. Kadang orang-orang desa kami berusaha mengibaratkannya dengan benda-benda lain dalam pengalaman hidup mereka dalam berhari-hari lamanya tetapi merasa semua itu tidak sesuai. Lekuk-liku bibir itu terlalu dasyat untuk dibandingkan dengan buah jambu yang tidak untuk dimakan, namun oleh tetua desa kami digunakan penghias desa kami agar desa kami tampak indah, memukau, dan pernah dalam suatu pertemuan yang diikuti semua penghuni desa, sang tetua desa kami bilang bahwa warna-warni buah jambu itu akan terasa lain bila seseorang berada di atas desa langit kami. Tetua itu berkata, "Pasti orang yang dapat terbang itu langsung mengatupkan sayap-sayapnya dan dengan cekatan ingin melihat apa yang sesungguhnya terjadi di tempat itu sehingga ada warna merah menyolok dari kejauhan langit." Si tetua desa kami membayangkan orang yang terbang itu pastilah memiliki kabar yang demikian bagus, berasal dari entah dunia yang mana, sehingga dapat terbang mengelilingi kolong langit yang kami tidak bisa memikirkannya sejauh mana luas semesta tempat kami hidup.
Demikianlah orang-orang desa kami dibuat teratur oleh sang tetua desa agar menjaga pohon-pohon jambu itu, bercocok tanam dengan rajin, menyiangi jalan-jalan yang penuh rumput, mengadakan ronda malam, mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas persedian makanan di musim mendatang, mengadakan pencatatan-pencatatan tentang perubahan alam, mengatur hubungan antar penghuni desa, mengadakan upacara-upacara.
Dapat dikatakan sampai desa kami kedatangan perempuan cantik tidak ada yang perlu dikwatirkan. Seolah dalam imajinasi penduduk desa kami hidup adalah menjamin bagaimana ketentuan-ketentuan dari tetua desa tidak berantakan. Walaupun hampir selamanya belum ada seorang yang terbang kemudian mengatupkan sayapnya dan akan menjadi tamu kehormatan kami, kami percaya suatu saat sang penerbang dari tempat antah berantah pastilah datang. Ia akan membawa kabar-kabar menyenangkan, mengajari kami terbang, mengajak kami sedesa berkeliling buana sehingga kami mengetahui dengan pasti kerlip-kerlip cahaya di malam hari, bola cahaya yang menyorot di siang hari, air yang tumpah ruah pada musim hujan. Pokoknya kami akan mengetahui segala rahasia alam semesta itu dan sebagaimana yang selalu ditekankan tetua desa kami, pada saat segala rahasia diketahui, akan disusun apa sesungguhnya makna hidup kami ini. Kami tidak akan mengalami kekosongan hidup seperti yang kami idap ketika kami masih berada di belantara hutan bersama kera-kera memakan jambu, berebut daging kijang dengan harimau dan singa, selalu berpindah-pindah untuk mencari tanah yang tidak terlalu basah ketika hujan tidak pernah berhenti tumpah dari langit atau mencari tanah yang ada airnya ketika tempat yang melindungi kami dari hujan menjadi panas tidak ada henti-hentinya. Kami diombang-ambingkan tidak menentu antara apa yang sedang kami alami dan apa maksud sesungguhnya yang kami alami itu.
Suatu saat seorang tetua kami yang selama ini menjadi panutan kami, memerintahkan kami untuk mendirikan tempat berlindung yang membuat kami tidak kehujanan pada musim hujan dan tidak membuat kami kepanasan pada saat musim kering. Kami sepakat dan kami menjalankan perintah-perintah dari tetua desa kami tanpa sangkalan. Kami merasa semua ini demi kebaikan kami. Dan memang benar, kami menjadi lebih nyaman dan bisa memikirkan apa makna hidup kami. Terlebih ketika tetua desa kami memiliki pikiran-pikiran yang dalam diri kami merupakan perkataan orang yang tahu apa yang paling baik pada hidup kami.
Namun berantakan semua itu ketika perempuan cantik berbibir dengan lekuk-liuknya yang memabukkan, matanya membuat kami membayangkan daratan luas yang indah, aroma udara yang wangi, tidak ada hujan, tidak ada panas. Walaupun kami berpikir bahwa apa yang dikatakan tetua desa adalah seorang yang dapat terbang dan datang dengan mengatupkan kedua sayapnya, kami diam-diam berharap perempuan memabukkan inilah yang akan membuat hidup kami di tengah maha rahasia hidup berakhir dan kami akan mengetahui apa yang paling tepat kami lakukan pada hidup kami masing-masing.
Maka, bukan air saja yang diberikan pada perempuan cantik memabukkan itu, tetapi apa-apa yang dalam hidup kami dianggap mewah dan sangat jarang dilakukan diserahkan pada perempuan cantik memabukkan itu. Setiap orang di desa kami berlomba-lomba memberikan minuman yang disadap sarang lebah yang paling lezat tetapi setiap orang yang menyadap akan mati bila terkena sengat lebah. Minuman itu dicampuri sari buah durian dan disajikan dalam gelas yang terbuat dari kayu berukir paling istimewa.
Tidak hanya itu. Setiap orang akan menyembelih binatang piaraannya. Sapi untuk menarik bajak, ayam yang sesungguhnya untuk mendapatkan telurnya sehingga anak-anak desa kami berbadan sehat-sehat dengan makan telurnya, ikan-ikan dalam empang kami. Setiap rumah di desa kami membuat rumahnya menjadi lebih indah dan lebih nyaman dengan taruhan rumahnya akan dijadikan tempat tinggal perempuan cantik memabukkan itu.
Orang-orang desa kami lebih baik mengalah dengan tidur di luar rumah, di bawah pohon jambu yang saat itu masa musim buah berakhir. Orang-orang desa kami berada diantara buah-buah jambu membusuk. Merelakan rongga dadanya dipenuhi rasa busuk tanpa mengindahkan anak-anak mereka yang masih kecil terserang penyakit sesak nafas. Membiarkan anak-anaknya menangis dan malah memukulnya bila terlalu mengganggu perhatian mereka apakah si perempuan cantik memabukkan tinggal di rumahnya atau tidak. Anak-anak mereka terlantar dan satu per satu mati.
Orang-orang desa kami tidak lagi melakukan upacara pengantar kematian pada anggota desanya yang mati seperti biasanya, tetapi melemparkan ke sungai seperti halnya mereka melemparkannya bangkai-bangkai ayam. Mereka tidak peduli lagi pada anak-anak yang keluar desa dan mencari makan sendiri ke dalam hutan. Mereka seolah malah senang dengan berkurangnya beban. Mereka tidak kwatir apabila anak-anak mereka dimakan serigala atau harimau seperti kekwatiran mereka dulu ketika masih hidup berpindah-pindah. Malah diantaranya menyuruh anak-anaknya mengikuti anak yang masuk hutan. Tidak berapa lama anak-anak lenyap dari desa kami. Desa kami hanya dihuni orang dewasa dengan imajinasi di kepala masing-masing dengan menemukan pencerahan dari ketaatan selama ini berlelah-lelah melakukan apa yang dititahkan tetua kampung.
Masing-masing dari orang-orang desa kami bersaing keras untuk mendapatkan perempuan berbibir memabukkan. Mereka seolah tidak mau kehilangan bayangan padang luas terbentang indah dipenuhi bau mewangi dan tidak dibingungkan rasa lapar, rasa dingin, maupun rasa panas. Seolah orang-orang desa kami telah jemu menaati peraturan demi peraturan yang tidak berujung. Mereka yang dulu sebebas kehidupan di hutan rimba dibuat tunduk oleh peraturan yang dalam benak mereka berubah menjadi sesuatu yang konyol, tidak lebih dari mainan anak-anak. Orang-orang desa kami tidak mengindahkan anjuran-anjuran, himbauan-himbauan, bahkan ancaman-ancaman dari orang-orang pendukung tetua desa kami.
Orang-orang desa kami tidak hanya diam dan terus-menerus memusatkan perhatiannya pada perempuan berbibir memabukkan dan bermata bagai padang luas menghampar, tapi mengasah pedang tajam-tajam hingga pada suatu siang yang panas cahaya matahari yang berpantulan dari bilah pedang yang diacungkan tinggi-tinggi ke udara membuat desa kami seperti permukaan sungai yang berkilatan oleh cahaya matahari. Pantulan cahaya-cahaya itu membuat silau dan membuat semua binatang peliharaan orang-orang desa kami lari tunggang langgang ke dalam hutan. Suara-suara ketakutan binatang itu menggemuruh seolah ada peristiwa yang selama hidupnya demikian dasyat dan tidak ada tindakan lain kecuali lari. Lari seperti halnya munculnya keberanian orang-orang desa kami untuk menentang titah tetua desa dengan mengasah pedang, mengacung-acungkan ke udara, memekikkan genderang kematian.
Tetua desa dan orang-orang akhirnya mundur ke pingggiran desa sebelah utara. Mereka hanya mengamati dari kejauhan. Membuat gubug kecil dan tidak mau lagi bentrok meskipun sesuatu yang baginya sangat memalukan dengan kehilangan kewibawaan yang selama ini sedikit demi sedikit ia bangun. Sang tetua kembali ke kebiasannya semula dengan mengeluarkan jaring kecilnya, turun ke sungai, dan dengan bersiul-siul menangkapi ikan-ikan kecil dan memakannya bersama anak buahnya seperti ketika tetua kampung masih berada di dalam hutan. Seolah ia kembali menjadi orang kerdil dengan perkataan-perkataan yang tidak lagi berfungsi kecuali umpatan yang tidak mengundang anak buahnya takut, kecuali tersenyum menghina dalam hati.
Sementara itu orang-orang desa kami mulai saling mengancam satu sama lainnya, terutama saat si perempuan berbibir memabukkan itu tidak segera pindah dari rumahnya. Mereka tidak mau harapan itu hanya milik satu orang tetapi milik semua orang.
"Siapa yang tidak ingin memiliki harapan untuk hidup membahagiakan!" teriak setiap orang desa kami dengan pedang menghunus ke udara ketika rumahnya tidak dijadikan hunian perempuan berbibir memabukkan. Orang-orang yang tidak kebagian rumahnya ditempati perempuan berbibir memabukkan tidak segan-segan membakar dan menyeret perempuan berbibir memabukkan untuk tinggal sesaat di rumahnya.
Mereka tidak saja menggunakan kata yang lemah lembut agar si perempuan berbibir memabukkan mau singgah sebentar di rumahnya, tapi akan dengan keras menyeretnya dan tidak peduli si perempuan berbibir cantik itu meraung-raung ketakutan. Mereka malah mencincangnya dan melemparkannya ke dalam rumah dan menguncinya dari luar. Karena ada tiga puluhan rumah dan setiap pemilik rumah menganggap dirinya paling berhak, perempuan berbibir memabukkan menjadi demikian menderita.
Wajahnya kalut dan tidak henti-hentinya menangis. Setiap malam, ketika sang pemilik rumah mengintip apa yang dilakukan si perempuan berbibir memabukkan di dalam biliknya dengan kebanggaan yang tiada terhingga, si perempuan berbibir memabukkan sesenggukan dan tidak berkata apa-apa. Melemparkan baju-bajunya ke lantai, mencabik-cabik tubuhnya yang putih sekaligus menampakkan kelelahan yang luar biasa diantara kilatan lampu minyak yang dipasang di dinding-dinding rumah.
Sang ayah dari rumah itu merasa berhak sekali untuk masuk dan menikmati tubuh molek memabukkan itu, sementara si anak lelaki yang beranjak menyatakan bahwa dirinyalah yang lebih berhak sebab ia belum memiliki jodoh. Namun si ibu mengatakan bahwa perempuan berbibir memabukkan itu bukan untuk diapa-apakan kecuali untuk diambil kemukzizatannya.
Mereka bertengkar dan ketika salah seorang berusaha menengahi, terutama mereka yang memiliki anak perempuan dewasa, sang ayah dan si anak lelaki dewasa akan menamparnya.
"Apa aku harus menidurimu, hei anak tak tahu malu!" seru sang ayah.
"Kurang ajar, apa kau mau begituan dengan saudara lakimu sendiri!" sergah saudara lelakinya yang pada saat itu tengah mencengkeram bahu saudara perempuannya dan melemparkannya ke dalam semak belukar.
"Tidak, aku tidak mau kalian berbunuhan hanya untuk perempuan gila karena kalian tidak memiliki padanan bibirnya yang merah memabukkan itu,"jawab si anak perempuan dari balik semak belukar dengan suara tersiksa.
"Matilah kau anak terkutuk!" teriak sang bapak yang tangannya dipegang erat-erat oleh istrinya yang mengiba-iba agar tidak meniduri perempuan berbibir memabukkan itu karena ia merasa dikhianati.
"Mau apa kau perempuan buruk, aku tidak lagi pernah tidur dengan perempuan semenjak tubuhnya berbau tanah!" teriaknya dengan was-was karena di sampingnya sang anak lelaki mengancam akan menebas lehernya bila sang ayah membuka pintu ke arah perempuan bibir memabukkan.
Demikianlah berbulan-bulan kekacauan terjadi tiada henti-hentinya. Rumput-rumput liar bertumbuhan, serangga-serangga liar berkelayapan di lantai-lantai rumah. Tidak ada persediaan makanan kecuali pedang-pedang berkilatan. Wajah-wajah kosong menyelimuti di setiap pandangan orang-orang sedesa kami. Kelelehan dan kekecewaan benar-benar mendera jiwa mereka ketika mereka kehilangan bahasa untuk menyapa para tetangganya maupun anggota keluargannya ketika selama berbulan-bulan mereka hanya menggunakan umpatan dan ancaman. Walaupun tidak ada satupun orang tewas tertebas pedang, tampak kepedihan menggelayuti orang desa kami dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika melihat tubuh-tubuh mereka berubah ringkih. Sementara itu perempuan berbibir memabukkan telah berubah menjadi sosok yang demikian menjijikkan. Tubuhnya kurus, digelibati keriput, dan tidak bisa diajak bicara. Sesekali tertawa dan sesekali menangis seraya menyerukan sebuah daerah yang berada di balik matahari terbit. Desa kami sunyi dan sepanjang hari hanya terdengar burung bangkai yang seolah telah bersiap-siap untuk menyantap tubuh-tubuh kami yang diliputi keringkihan. Burung-burung bangkai itu seperti telah mencium aroma bangkai pada tubuh kami meskipun tubuh kami masih bisa bernafas.
"Apakah kegilaan ini akan kita teruskan!" teriak seorang dari kami ketika beberapa hari terakhir yang tersisa adalah sunyi. Tidak ada pedang mengacung ke langit, tidak ada umpatan, ancaman, dan tidak ada harapan padang luas membentang dengan keindahannya.
"Tidak!" jawab salah seorang dari kami yang saat itu berada di sebuah pelataran luas penuh dengan rumput liar.
"Baik. Kita akan melepaskan perempuan berbibir memabukkan ini dari lingkungan desa kita, karena perempuan yang tidak lagi indah ini adalah penyebab ketenteraman desa kita." Kata salah seorang dari desa kami tersebut dengan ujung jari menunjuk bekas perempuan berbibir tebal yang saat ini kami ikat dengan tali agar tidak meronta-ronta dan mencabik-cabik tubuhnya sendiri dengan kukunya yang panjang menghitam.
"Lalu bagaiamana harapan kita?" tanya salah seorang dari kami.
"Tidak ada harapan, tidak ada makna hidup seperti kata tetua kampung kita dulu. Bukan harapan yang kita perlukan, tetapi ketenteraman dan keteraturan hidup. Titik!"
"Kita akan membebaskan perempuan ini dan melepaskanya dalam wujud burung sehingga ia bebas melenggang, bebas menuju tempat di balik matahari terbit."
Demikianlah seharian itu kami menyiapkan upacara pelepasan perempuan yang telah diubah menjadi seekor burung. Perempuan yang tidak hanya mencabik-cabik tubuhnya dengan kuku panjang hitamnya, tetapi juga mencabik-cabik kehidupan kami menuju perseteruan-perseteruan yang tiada hentinya. Akhirnya kami lepaskan burung itu ke langit. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan.
AKHIRNYA kami lepaskan burung itu ke langit. Burung yang membuat kami sedesa berseteru sampai darah penghabisan. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan. Kami tidak saling bertegur sapa lagi, tidak saling memanggil dengan akrab lagi. Walaupun kami bertegur sapa, dalam diri kami selalu dibebani oleh kecurigaan-kecurigaan yang membuat kami saling meneror atau diteror. Kami bahkan mengasah pedang dan menyalakan api dendam pada diri kami masing-masing seolah kami sedang dilanda sebuah permasalahan yang demikian berat, demikian tidak mungkin diselesaikan dengan akal sehat kami.
Orang-orang sedesa kami pada berdiam, menahan nafas dalam-dalam, dan selalu waspada pada setiap orang yang dijumpai. Tidak lagi perduli apakah orang tersebut tetangga, istri, suami, saudara, saudara jauh, anak, maupun cucu. Orang-orang desa kami tidak pernah berhenti untuk selalu mengumbar dendam yang mereka sendiri tidak pernah tahu asal muasalnya kecuali ketika kedatangan perempuan cantik yang tidak tahu dari mana asalnya, yang mulanya hanya minta minum dan mengatakan sedang melakukan perjalanan jauh dari ujung matahari terbit. Perempuan cantik jelita, bermata berbinar-binar seperti memiliki harapan yang jauh akan masa hidupnya jika ia mencapai matahari terbit. Bibirnya merah merona yang membuat orang-orang desa kami takjub dan mengatakan pada dirinya jikalau bibir itu berkata, "Aku akan membuat kalian penuh semangat" dan tidak seorangpun punya padanan yang sesuai dengan lekuk-liku pada gurat-gurat bibirnya yang merona. Warna buah jambu yang menjadi batas desa kami, tidak mampu menyamainya. Kadang orang-orang desa kami berusaha mengibaratkannya dengan benda-benda lain dalam pengalaman hidup mereka dalam berhari-hari lamanya tetapi merasa semua itu tidak sesuai. Lekuk-liku bibir itu terlalu dasyat untuk dibandingkan dengan buah jambu yang tidak untuk dimakan, namun oleh tetua desa kami digunakan penghias desa kami agar desa kami tampak indah, memukau, dan pernah dalam suatu pertemuan yang diikuti semua penghuni desa, sang tetua desa kami bilang bahwa warna-warni buah jambu itu akan terasa lain bila seseorang berada di atas desa langit kami. Tetua itu berkata, "Pasti orang yang dapat terbang itu langsung mengatupkan sayap-sayapnya dan dengan cekatan ingin melihat apa yang sesungguhnya terjadi di tempat itu sehingga ada warna merah menyolok dari kejauhan langit." Si tetua desa kami membayangkan orang yang terbang itu pastilah memiliki kabar yang demikian bagus, berasal dari entah dunia yang mana, sehingga dapat terbang mengelilingi kolong langit yang kami tidak bisa memikirkannya sejauh mana luas semesta tempat kami hidup.
Demikianlah orang-orang desa kami dibuat teratur oleh sang tetua desa agar menjaga pohon-pohon jambu itu, bercocok tanam dengan rajin, menyiangi jalan-jalan yang penuh rumput, mengadakan ronda malam, mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas persedian makanan di musim mendatang, mengadakan pencatatan-pencatatan tentang perubahan alam, mengatur hubungan antar penghuni desa, mengadakan upacara-upacara.
Dapat dikatakan sampai desa kami kedatangan perempuan cantik tidak ada yang perlu dikwatirkan. Seolah dalam imajinasi penduduk desa kami hidup adalah menjamin bagaimana ketentuan-ketentuan dari tetua desa tidak berantakan. Walaupun hampir selamanya belum ada seorang yang terbang kemudian mengatupkan sayapnya dan akan menjadi tamu kehormatan kami, kami percaya suatu saat sang penerbang dari tempat antah berantah pastilah datang. Ia akan membawa kabar-kabar menyenangkan, mengajari kami terbang, mengajak kami sedesa berkeliling buana sehingga kami mengetahui dengan pasti kerlip-kerlip cahaya di malam hari, bola cahaya yang menyorot di siang hari, air yang tumpah ruah pada musim hujan. Pokoknya kami akan mengetahui segala rahasia alam semesta itu dan sebagaimana yang selalu ditekankan tetua desa kami, pada saat segala rahasia diketahui, akan disusun apa sesungguhnya makna hidup kami ini. Kami tidak akan mengalami kekosongan hidup seperti yang kami idap ketika kami masih berada di belantara hutan bersama kera-kera memakan jambu, berebut daging kijang dengan harimau dan singa, selalu berpindah-pindah untuk mencari tanah yang tidak terlalu basah ketika hujan tidak pernah berhenti tumpah dari langit atau mencari tanah yang ada airnya ketika tempat yang melindungi kami dari hujan menjadi panas tidak ada henti-hentinya. Kami diombang-ambingkan tidak menentu antara apa yang sedang kami alami dan apa maksud sesungguhnya yang kami alami itu.
Suatu saat seorang tetua kami yang selama ini menjadi panutan kami, memerintahkan kami untuk mendirikan tempat berlindung yang membuat kami tidak kehujanan pada musim hujan dan tidak membuat kami kepanasan pada saat musim kering. Kami sepakat dan kami menjalankan perintah-perintah dari tetua desa kami tanpa sangkalan. Kami merasa semua ini demi kebaikan kami. Dan memang benar, kami menjadi lebih nyaman dan bisa memikirkan apa makna hidup kami. Terlebih ketika tetua desa kami memiliki pikiran-pikiran yang dalam diri kami merupakan perkataan orang yang tahu apa yang paling baik pada hidup kami.
Namun berantakan semua itu ketika perempuan cantik berbibir dengan lekuk-liuknya yang memabukkan, matanya membuat kami membayangkan daratan luas yang indah, aroma udara yang wangi, tidak ada hujan, tidak ada panas. Walaupun kami berpikir bahwa apa yang dikatakan tetua desa adalah seorang yang dapat terbang dan datang dengan mengatupkan kedua sayapnya, kami diam-diam berharap perempuan memabukkan inilah yang akan membuat hidup kami di tengah maha rahasia hidup berakhir dan kami akan mengetahui apa yang paling tepat kami lakukan pada hidup kami masing-masing.
Maka, bukan air saja yang diberikan pada perempuan cantik memabukkan itu, tetapi apa-apa yang dalam hidup kami dianggap mewah dan sangat jarang dilakukan diserahkan pada perempuan cantik memabukkan itu. Setiap orang di desa kami berlomba-lomba memberikan minuman yang disadap sarang lebah yang paling lezat tetapi setiap orang yang menyadap akan mati bila terkena sengat lebah. Minuman itu dicampuri sari buah durian dan disajikan dalam gelas yang terbuat dari kayu berukir paling istimewa.
Tidak hanya itu. Setiap orang akan menyembelih binatang piaraannya. Sapi untuk menarik bajak, ayam yang sesungguhnya untuk mendapatkan telurnya sehingga anak-anak desa kami berbadan sehat-sehat dengan makan telurnya, ikan-ikan dalam empang kami. Setiap rumah di desa kami membuat rumahnya menjadi lebih indah dan lebih nyaman dengan taruhan rumahnya akan dijadikan tempat tinggal perempuan cantik memabukkan itu.
Orang-orang desa kami lebih baik mengalah dengan tidur di luar rumah, di bawah pohon jambu yang saat itu masa musim buah berakhir. Orang-orang desa kami berada diantara buah-buah jambu membusuk. Merelakan rongga dadanya dipenuhi rasa busuk tanpa mengindahkan anak-anak mereka yang masih kecil terserang penyakit sesak nafas. Membiarkan anak-anaknya menangis dan malah memukulnya bila terlalu mengganggu perhatian mereka apakah si perempuan cantik memabukkan tinggal di rumahnya atau tidak. Anak-anak mereka terlantar dan satu per satu mati.
Orang-orang desa kami tidak lagi melakukan upacara pengantar kematian pada anggota desanya yang mati seperti biasanya, tetapi melemparkan ke sungai seperti halnya mereka melemparkannya bangkai-bangkai ayam. Mereka tidak peduli lagi pada anak-anak yang keluar desa dan mencari makan sendiri ke dalam hutan. Mereka seolah malah senang dengan berkurangnya beban. Mereka tidak kwatir apabila anak-anak mereka dimakan serigala atau harimau seperti kekwatiran mereka dulu ketika masih hidup berpindah-pindah. Malah diantaranya menyuruh anak-anaknya mengikuti anak yang masuk hutan. Tidak berapa lama anak-anak lenyap dari desa kami. Desa kami hanya dihuni orang dewasa dengan imajinasi di kepala masing-masing dengan menemukan pencerahan dari ketaatan selama ini berlelah-lelah melakukan apa yang dititahkan tetua kampung.
Masing-masing dari orang-orang desa kami bersaing keras untuk mendapatkan perempuan berbibir memabukkan. Mereka seolah tidak mau kehilangan bayangan padang luas terbentang indah dipenuhi bau mewangi dan tidak dibingungkan rasa lapar, rasa dingin, maupun rasa panas. Seolah orang-orang desa kami telah jemu menaati peraturan demi peraturan yang tidak berujung. Mereka yang dulu sebebas kehidupan di hutan rimba dibuat tunduk oleh peraturan yang dalam benak mereka berubah menjadi sesuatu yang konyol, tidak lebih dari mainan anak-anak. Orang-orang desa kami tidak mengindahkan anjuran-anjuran, himbauan-himbauan, bahkan ancaman-ancaman dari orang-orang pendukung tetua desa kami.
Orang-orang desa kami tidak hanya diam dan terus-menerus memusatkan perhatiannya pada perempuan berbibir memabukkan dan bermata bagai padang luas menghampar, tapi mengasah pedang tajam-tajam hingga pada suatu siang yang panas cahaya matahari yang berpantulan dari bilah pedang yang diacungkan tinggi-tinggi ke udara membuat desa kami seperti permukaan sungai yang berkilatan oleh cahaya matahari. Pantulan cahaya-cahaya itu membuat silau dan membuat semua binatang peliharaan orang-orang desa kami lari tunggang langgang ke dalam hutan. Suara-suara ketakutan binatang itu menggemuruh seolah ada peristiwa yang selama hidupnya demikian dasyat dan tidak ada tindakan lain kecuali lari. Lari seperti halnya munculnya keberanian orang-orang desa kami untuk menentang titah tetua desa dengan mengasah pedang, mengacung-acungkan ke udara, memekikkan genderang kematian.
Tetua desa dan orang-orang akhirnya mundur ke pingggiran desa sebelah utara. Mereka hanya mengamati dari kejauhan. Membuat gubug kecil dan tidak mau lagi bentrok meskipun sesuatu yang baginya sangat memalukan dengan kehilangan kewibawaan yang selama ini sedikit demi sedikit ia bangun. Sang tetua kembali ke kebiasannya semula dengan mengeluarkan jaring kecilnya, turun ke sungai, dan dengan bersiul-siul menangkapi ikan-ikan kecil dan memakannya bersama anak buahnya seperti ketika tetua kampung masih berada di dalam hutan. Seolah ia kembali menjadi orang kerdil dengan perkataan-perkataan yang tidak lagi berfungsi kecuali umpatan yang tidak mengundang anak buahnya takut, kecuali tersenyum menghina dalam hati.
Sementara itu orang-orang desa kami mulai saling mengancam satu sama lainnya, terutama saat si perempuan berbibir memabukkan itu tidak segera pindah dari rumahnya. Mereka tidak mau harapan itu hanya milik satu orang tetapi milik semua orang.
"Siapa yang tidak ingin memiliki harapan untuk hidup membahagiakan!" teriak setiap orang desa kami dengan pedang menghunus ke udara ketika rumahnya tidak dijadikan hunian perempuan berbibir memabukkan. Orang-orang yang tidak kebagian rumahnya ditempati perempuan berbibir memabukkan tidak segan-segan membakar dan menyeret perempuan berbibir memabukkan untuk tinggal sesaat di rumahnya.
Mereka tidak saja menggunakan kata yang lemah lembut agar si perempuan berbibir memabukkan mau singgah sebentar di rumahnya, tapi akan dengan keras menyeretnya dan tidak peduli si perempuan berbibir cantik itu meraung-raung ketakutan. Mereka malah mencincangnya dan melemparkannya ke dalam rumah dan menguncinya dari luar. Karena ada tiga puluhan rumah dan setiap pemilik rumah menganggap dirinya paling berhak, perempuan berbibir memabukkan menjadi demikian menderita.
Wajahnya kalut dan tidak henti-hentinya menangis. Setiap malam, ketika sang pemilik rumah mengintip apa yang dilakukan si perempuan berbibir memabukkan di dalam biliknya dengan kebanggaan yang tiada terhingga, si perempuan berbibir memabukkan sesenggukan dan tidak berkata apa-apa. Melemparkan baju-bajunya ke lantai, mencabik-cabik tubuhnya yang putih sekaligus menampakkan kelelahan yang luar biasa diantara kilatan lampu minyak yang dipasang di dinding-dinding rumah.
Sang ayah dari rumah itu merasa berhak sekali untuk masuk dan menikmati tubuh molek memabukkan itu, sementara si anak lelaki yang beranjak menyatakan bahwa dirinyalah yang lebih berhak sebab ia belum memiliki jodoh. Namun si ibu mengatakan bahwa perempuan berbibir memabukkan itu bukan untuk diapa-apakan kecuali untuk diambil kemukzizatannya.
Mereka bertengkar dan ketika salah seorang berusaha menengahi, terutama mereka yang memiliki anak perempuan dewasa, sang ayah dan si anak lelaki dewasa akan menamparnya.
"Apa aku harus menidurimu, hei anak tak tahu malu!" seru sang ayah.
"Kurang ajar, apa kau mau begituan dengan saudara lakimu sendiri!" sergah saudara lelakinya yang pada saat itu tengah mencengkeram bahu saudara perempuannya dan melemparkannya ke dalam semak belukar.
"Tidak, aku tidak mau kalian berbunuhan hanya untuk perempuan gila karena kalian tidak memiliki padanan bibirnya yang merah memabukkan itu,"jawab si anak perempuan dari balik semak belukar dengan suara tersiksa.
"Matilah kau anak terkutuk!" teriak sang bapak yang tangannya dipegang erat-erat oleh istrinya yang mengiba-iba agar tidak meniduri perempuan berbibir memabukkan itu karena ia merasa dikhianati.
"Mau apa kau perempuan buruk, aku tidak lagi pernah tidur dengan perempuan semenjak tubuhnya berbau tanah!" teriaknya dengan was-was karena di sampingnya sang anak lelaki mengancam akan menebas lehernya bila sang ayah membuka pintu ke arah perempuan bibir memabukkan.
Demikianlah berbulan-bulan kekacauan terjadi tiada henti-hentinya. Rumput-rumput liar bertumbuhan, serangga-serangga liar berkelayapan di lantai-lantai rumah. Tidak ada persediaan makanan kecuali pedang-pedang berkilatan. Wajah-wajah kosong menyelimuti di setiap pandangan orang-orang sedesa kami. Kelelehan dan kekecewaan benar-benar mendera jiwa mereka ketika mereka kehilangan bahasa untuk menyapa para tetangganya maupun anggota keluargannya ketika selama berbulan-bulan mereka hanya menggunakan umpatan dan ancaman. Walaupun tidak ada satupun orang tewas tertebas pedang, tampak kepedihan menggelayuti orang desa kami dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika melihat tubuh-tubuh mereka berubah ringkih. Sementara itu perempuan berbibir memabukkan telah berubah menjadi sosok yang demikian menjijikkan. Tubuhnya kurus, digelibati keriput, dan tidak bisa diajak bicara. Sesekali tertawa dan sesekali menangis seraya menyerukan sebuah daerah yang berada di balik matahari terbit. Desa kami sunyi dan sepanjang hari hanya terdengar burung bangkai yang seolah telah bersiap-siap untuk menyantap tubuh-tubuh kami yang diliputi keringkihan. Burung-burung bangkai itu seperti telah mencium aroma bangkai pada tubuh kami meskipun tubuh kami masih bisa bernafas.
"Apakah kegilaan ini akan kita teruskan!" teriak seorang dari kami ketika beberapa hari terakhir yang tersisa adalah sunyi. Tidak ada pedang mengacung ke langit, tidak ada umpatan, ancaman, dan tidak ada harapan padang luas membentang dengan keindahannya.
"Tidak!" jawab salah seorang dari kami yang saat itu berada di sebuah pelataran luas penuh dengan rumput liar.
"Baik. Kita akan melepaskan perempuan berbibir memabukkan ini dari lingkungan desa kita, karena perempuan yang tidak lagi indah ini adalah penyebab ketenteraman desa kita." Kata salah seorang dari desa kami tersebut dengan ujung jari menunjuk bekas perempuan berbibir tebal yang saat ini kami ikat dengan tali agar tidak meronta-ronta dan mencabik-cabik tubuhnya sendiri dengan kukunya yang panjang menghitam.
"Lalu bagaiamana harapan kita?" tanya salah seorang dari kami.
"Tidak ada harapan, tidak ada makna hidup seperti kata tetua kampung kita dulu. Bukan harapan yang kita perlukan, tetapi ketenteraman dan keteraturan hidup. Titik!"
"Kita akan membebaskan perempuan ini dan melepaskanya dalam wujud burung sehingga ia bebas melenggang, bebas menuju tempat di balik matahari terbit."
Demikianlah seharian itu kami menyiapkan upacara pelepasan perempuan yang telah diubah menjadi seekor burung. Perempuan yang tidak hanya mencabik-cabik tubuhnya dengan kuku panjang hitamnya, tetapi juga mencabik-cabik kehidupan kami menuju perseteruan-perseteruan yang tiada hentinya. Akhirnya kami lepaskan burung itu ke langit. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan.