subscribe to RSS

EBOOK, BOOKS, FREE DDOWNLOAD E-BOOK, DOWNLOAD GRATIS, NOVEL AGATHA CHRISTIE, EBOOKS BISNIS

Balon Cinta Okinawa

Posted by Han on Friday, July 29, 2011

Terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini, kata Ohida, lelaki tua janggut putih sambil duduk termenung di atas tikar menghadap meja penghangat. Pandangannya terpusat pada pintu rumahnya yang setengah terbuka. Teh teguk terakhir mencairkan butiran-butiran salju musim dingin yang turun hebat. Senja yang muram. Badai baru saja reda. Diraihnya baju tebal dan ikat penutup kepala. Di beranda Ohida melepas balon.


Pelan-pelan balon itu mengudara. Ohida tidak ingin balon itu tersangkut lagi di pohon Sakura seperti hari kemarin. Matanya yang cekung tak berkedip demi memastikan balon bergambar seorang perempuan dalam warna merah jingga itu terbang mengudara. Ohida berharap balon miliknya tak hanya sampai di Okinawa atau Tsukudajima atau kempes dan jatuh di danau Suwa.

Tiap hari Ohida melepas satu balon. Sebuah surat ditalikan pada ujung penyumbat udara. Tiap hari pula Ohida melukis wajah seorang perempuan. Kadang, di sela kesibukannya mengurus, Tagawa, cucunya paling cerewet dan suka usil, Ohida merancang gambar seribu perempuan yang akan dilukis esok hari. Hari ini perempuan itu mengenakan Kimono merah bara. Dua supit menancap di rambutnya.

Telah ribuan surat kukirim, kata Ohida, tapi aku tak pernah menerima balasan. Di manakah perempuan itu sekarang. Ohida termenung sambil memandangi samurai yang tergantung di dinding. Dia teringat ketika pertama kali cintanya tertancap pada seorang gadis Jawa, Sumirah.

Semula, Ohida tak begitu mencintai Sumirah. Tapi Samurai berbungkus kulit rusa Jawa inilah yang kemudian menggores hatinya. Pagi itu, di bulan Maret 1944, Ohida memimpin satu regu pasukan PETA. Dia ditugaskan menghadang sekutu yang hendak memasuki pinggiran kota Sakagiri.

"Satu jam lagi Sekutu tiba. Hadang dan hancurkan." Komandan Nomihara berdiri tegak. Matanya nanar. Urat nadinya menegang. Marah. Geram

"Haik. Tap. Tap. Tap."

Pasukan berangkat menuju arah matahari senja. Pada kilometer tiga dari pusat kota, dua lemparan tombak ke arah bukit Sakagiri, desingan mortir menghentikan gerak laju pasukan itu.

"Tiarap!" Ohida meloncat ke parit sawah diikuti yang lain. Ada tidak kurang lima kali dentuman dahsyat meluluh lantakkan radius tujuh lompatan kuda dari tempat mereka sembunyi. Tanah muncrat. Asap mengepul. Satu lagi dentuman mortir mematahkan pohon trembesi.

"Bidik senjata ke arah senja. Tahan. Jangan tembak dulu. Tunggu sampai asap menghilang." Setengah berteriak Ohida memberi perintah sambil tiarap seraya menghapus wajahnya yang kuyup terkena muncratan lumpur sawah.

Sebuah mortir meledak lagi. Kali ini tepat di tengah pasukan. Potongan-potongan tubuh melenting ke udara. Darah menyembur. Terdengar erangan sakit, entah siapa, lalu diam. Ohida memandangi tubuh-tubuh pemuda Jawa itu hancur seperti daging cincang. Bersamaan dengan itu dua tentara sekutu mendekat. Peluru diobral. Lima lagi yang bergelimpangan.

"Nippon keparat." Seorang prajurit sekutu menarik pelatuk. Moncong senapan itu mengarah ke Ohida. Dia tak ingat apa-apa lagi kecuali kilatan samurai memantulkan cahaya senja. Dua tubuh ambruk. Tentara Sekutu itu terpenggal lehernya. Sarpan berlobang kepalanya.

***

Salju tipis. Sebuah pintu rumahnya membukakan pemandangan gunung Fuji. Serombongan bangau melintas, O, Gunung Fuji yang tegak tempat para dewa bersemayam. Ohida menatap Fuji dengan pandangan Merapi (di sanalah dia untuk terakhir kalinya menggenggam tangan Sumirah). Dua hari kemudian Ohida sudah berada di atas dek kapal dengan tangan terikat. Mulutnya disumpal kain.

"Kaisar tak ingin Nippon sejati jatuh cinta dengan perempuan tanah jajahan. Tapi kau melakukan juga, Ohida."

Ohida diam. Bungkam. Tak ada alasan membantah komandan seperti juga tak ada alasan untuk menjelaskan budi baik Sarpan yang menyelamatkan nyawanya. Ohida ingin membalas itu dengan cinta.

Dan butir-butir salju menempel di ranting Sakura. Ohida membayangkan pastilah pegunungan Totomi disaput kabut gelap. Ohida lalu mengambil secarik kertas. Dituliskannnya sebaris puisi tentang burung bangau yang terbang lelah lalu jatuh di kawah Merapi. Tubuhnya gosong. Aroma bulunya yang terbakar dihirup para Dewa.

Dengan langkah gontai Ohida beranjak menuju halaman. Satu balon lagi dilepaskannya. Sebuah amplop terbungkus selendang batik kusam itu pelan-pelan lenyap dari pandangan Ohida. Kini Ohida berharap balon itu akan terbang jauh, jauh sekali menyeberangi samudera luas. Ohida tersenyum. Diraihnya samurai itu lalu pelan-pelan dihunusnya. Samurai yang putih bersih seperti salju. Ohida tersenyum. Salju menetes merah bersamaan kilatan samurai menancap di perutnya. Di ujung samudera surat itu dibaca, entah oleh siapa : untuk Sumirah. (***)

Jogja-Solo, Maret 2002
By Sholihul Hadi

Adik Tiriku Sayang

Posted by Han on


Marah, kesal, dan jengkel campur jadi satu dalam perasaanku saat ini. Sejak ayahku menikah lagi dengan janda itu setelah bunda meninggal, aku mendapatkan sebuah kejutan yang benar-benar tidak kuharapkan sebelumnya. Yaitu seorang adik tiri.

"Yok, kenalin ini Hafid," kata ayahku memperkenalkanku dengan anak dari ibu baruku. "Yoyok," jawabku ketus.

"Hafid, apa kabar Mas?" balasnya. Aku diam saa, hanya menganggukkan kepala.

"Kalian kan seumur, gimana kalau nanti kalian daftar perguruan tinggi yang sama. Kan enak bisa berangkat bersama-sama," ujar ibu baruku itu.

"Enak aja, kamu pikir nyatuin dua unsur yang berbeda dan bertolak belakang itu gampang apa?" kataku dalam hati, kesal.

"Wah, itu ide yang bagus Ma. Iya kan Mas?" tanya Hafid.

"Tau ah, lihat aja nanti," balasku sambil meninggalkan mereka.

"Yoyok emang gitu. Jangan dimasukkin ke hati ya Fid," nasihat ayah. Hafid hanya mengangguk.

Tak pernah terpikirkan olehku mendapatkan adik tiri yang umurnya nggak jauh beda denganku. Walaupun tua aku sedikit. Tapi, perasaan takut disaingi dan kehilangan orang yang aku cintai sejak bunda tiada selalu menghantuiku siang dan malam.

"Pagi Mas," sapa Hafid ramah, membubarkan lamunanku.

"Pagi," jawabku sambil meninggalkan dia di ruang santai.

"Tunggu Mas, aku mau ngomong sama Mas," lanjut Hafid.

"Ada apa? Cepetan deh, aku nggak punya waktu banyak," sahutku.

"Aku tahu Mas dari awal udah nggak suka sama aku. Tapi aku berusaha baik sama Mas. Coba pikirin lagi deh Mas, kita pura-pura baik aja demi orang tua kita. Biar nggak nambah beban pikiran mereka. Iya kan?" tanyanya lagi .

"Eh, asal kamu tahu aja ya, aku nggak pernah dan nggak akan pernah mau pura-pura baik sama kamu. Baik di depan orang tua kita ataupun di mana aja. Kamu udah ngerebut segala sesuatu yang aku sayangi. Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu, kamu tuh bencana bagi aku," balasku marah. Aku tahu ada tetesan air mata di pipi adik tiriku itu, tapi aku tak peduli.

Setelah kejadian pagi, itu aku tidak pernah menganggapnya walaupun dia masih tetap bersikap baik padaku. Ya say hallo lah, nawarin aku makan lah, dan selalu bawain aku oleh-oleh setiap dia pergi dengan orang tua kami ataupun sendirian. Di depan ayahku atau tidak.

Aku memang nggak pernah mau jalan bareng sama mereka. Aku pikir akan tambah memalukan bila aku jalan bareng dan bertemu orang-orang yang aku kenal. Mau ditaruh mana mukaku?

Sore itu, sepulang dari rumah temanku, kulaju mobilku dengan kecepatan tinggi. Semua amarah yang setiap hari kupendam kulampiaskan pada jalanan itu. Tiba-tiba… brak!

Mobilku menabrak sesorang yang sedang menyeberang jalan. Spontan aku keluar dari mobilku. Kulihat wajah yang berlumuran darah serta barang-barang yang berserakan bagaikan puing-puing kaca pada peristiwa bom di J.W. Marriot. Wajahnya tak asing bagiku. Ya Tuhan! Wajah itu milik adik tiriku.

Entah perasaan senang atau sedih yang kurasakan sekarang. Aku menabrak adik tiriku sendiri. Pikiran ini terus menghantuiku sepanjang dokter memeriksa adikku. Aku memilih tidak memberitahukan kejadian ini kepada ayah dan ibu tiriku karena aku takut. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?

"Anda saudara korban?" tanya dokter kepadaku.

"Ya, saya saudaranya," jawabku gemetar.

"Saudara Anda kehilangan banyak darah. Sedangkan persediaan darah O rumah sakit ini menipis," jelas dokter tersebut.

"Saya…saya O Dok. Ambil saja darah saya," ujarku, masih gemetar.

"Baik, silakan Anda ikut suster ini untuk tes darah," lanjut dokter.

"Baik Dok," jawabku.

Satu jam kemudian. "Saudara Anda sudah sadar dan dia ingin berbicara dengan Yoyok. Anda Yoyok?" tanya dokter tersebut.

"Saya Yoyok, kakaknya, Dok" jawabku. Tanpa sadar aku mengakui dia sebagai adikku.

"Boleh saya menemuinya Dok?" tanyaku.

"Silakan," jawab dokter itu sambil mempersilakan aku masuk.

"Mas Yoyok," lirih suara adikku.

"Jangan banyak ngomong dulu. Kamu masih lemas, istirahat saja dulu," kataku.

"Mas, makasih ya udah repot-repot nolongin saya. Sampai-sampai Mas mau menyumbangkan darah buat saya. Tadi waktu aku keluar dari mal ada mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menabrakku. Sayang aku tidak melihat orang tersebut karena aku pasti akan memakinya. Aku membawakan buku komputer yang Mas cari kemarin. Aku membelikannya tadi. Pasti sekarang buku itu sudah rusak atau hilang. Mas lihat?" katanya dengan suara lirih.

"Ti..tidak Fid. Mas nggak lihat," jawabku. Ternyata dia tidak tahu kalau akulah yang menabraknya. Ya Tuhan maafkan kesalahanku.

"Ya udah, nanti Hafid belikan lagi. Uhuk..uhuk…" sambil batuk dia berkata.

"Tuh kan, Mas udah bilang jangan banyak ngomong dulu. Entar tambah sakit lho," nasihatku.

"Nggak apa-apa kok Mas. Oh ya, mama sama papa mana?" tanyanya.

"Mama sama papa belum aku hubungi. Soalnya aku tadi gugup banget. Nanti deh kuberitahu mereka," balasku.

Tit…tit…tit…

Terdengar suara dari pendeteksi detak jantung persis di sebelah kepala adikku.

"Dokter, tolong Dokter! Ada apa dengan adikku Dokter?" spontan aku berteriak sambil memencet tombol panggilan darurat.

"Maaf Pak. Anda tunggu di luar sebentar," seru salah satu suster yang datang.

"Tidak, aku mau menemani adikku!" jawabku tegas.

"Baiklah, tapi agak menjauh sebentar," kata dokter itu.

Tak lama kemudian…

"Maaf Pak. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi adik bapak sudah menghembuskan nafas terakhirnya," jelas dokter itu.

"Tidaaaakkkkk! Jangan mati Dik. Aku belum minta maaf. Aku…aku bener-bener menyesal. Aku baru sadar kalau kamu anak yang baik. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa adikku sekarang. Ya Tuhan, kembalikan adikku!" teriakku. Maafkan Mas, Fid…




Oleh Donny Maulana, Penulis adalah Mahasiswa Stikom